Bandung: Kota Ramah Kredit Kendaraan Pribadi, Daripada Transportasi Publik
“Bandung adalah sorga permai di atas dunia. Itulah sebabnya, baik untuk bermukim di sana.”
- Semboyan Kota Bandung, 1920
Saya adalah anak kabupaten yang tumbuh besar di wilayah ujung kabupaten Bandung Timur, tepatnya di bawah kaki gunung Manglayang yang dulunya wilayah persawahan. Kini, mayoritas sawah tersebut telah disulap menjadi perumahan tapak untuk para pekerja kota maupun kabupaten.
Lebih dari 20 tahun tumbuh besar di daerah paling ujung ini menyadarkan saya bahwa ‘kota Bandung’ begitu jauh. Kata jauh bukan hanya disebabkan oleh ukuran objektif kilometer. Tapi juga melibatkan kaki yang berat — dari bergelut dengan macet, angkot yang banyak berhentinya, dan kereta lokal yang sulit dijangkau dengan jalan kaki. Pun di area perumahan yang saling menyambung ini, tidak ada angkutan umum yang beroperasi.
Jarak yang jauh, diikuti oleh keterbatasan ekonomi atau waktu, membuat masyarakat kesulitan ke kota Bandung. Makanya tak heran kalau wargi Bandung kota dan kabupaten ‘lebih memilih berdiam diri di rumah daripada harus bermacet-macetan di akhir pekan’.
Pemerintah Sedang Beternak Mesin
Pernyataan di atas sebetulnya bukan hiperbola. Memang perlu usaha lebih untuk menikmati sang kota yang sering disanjung oleh orang-orang luar sebagai kota ‘romantis’, ‘ramah’ dan bergaya ‘Eropa’. Lihat saja jalan raya depan perumahan Cinunuk–Cibiru atau bahkan sampai Dago yang tak mengalami perubahan jalan signifikan untuk mengakomodir para pejalan kaki ataupun pengguna transportasi umum.
Kalau mau disebut ada perubahan yang terasa, saya rasa hal ini sempat terjadi pada tahun 2010–2011. Periode ini ditandai dengan semakin banyaknya kendaraan pribadi, sementara transportasi publik tidak bertambah. Halte-halte Trans Metro Bandung (TMB) kini hanya menjadi “tempat sampah” yang mengambil ruang pejalan kaki. Belum lagi kelayakan trotoar yang minim, menambah daftar panjang kesialan para pejalan kaki di kota yang auto-pilot ini.
Statistik dari Dishub Kota Bandung menunjukkan kenyataan yang cukup membuat depresi: ada 2,2 juta unit kendaraan di Bandung yang terdiri dari 1,7 juta mobil dan sekitar 500 ribu motor. Sedangkan jumlah penduduk kota Bandung sekitar 2,4 juta jiwa. Artinya hampir tiap 1 orang di Bandung memiliki 1 kendaraan. Bandingkan dengan jumlah transportasi publik yang stagnan. Di tahun 2008 saja, Bandung hanya memiliki 7845 unit. Puncaknya di tahun 2017 dengan jumlah 15.139 unit — itu pun terus merosot tiap tahunnya, sampai-sampai Bandung hanya memiliki 12.514 unit transportasi publik di tahun 2020.
Setiap pagi di hari kerja, ada sekitar 29 ribu kendaraan dari arah timur menuju utara dan 22 ribu kendaraan melaju dari timur ke barat. Ini menunjukkan bahwa aktivitas perkantoran dan sekolah masih berpusat di tengah kota. Banyaknya jumlah kendaraan, ditambah dengan aktivitas kendaraan yang berasal dari luar kota, menunjukkan bagaimana pemerintah gagal dalam memberikan solusi praktis soal transportasi.
Sayang, padahal pemerintah Bandung di masa Ridwan Kamil sempat memiliki banyak ide. Namun ide-ide itu tak kunjung direalisasikan. Pemerintah malah membiarkan fasilitas transportasi publik membusuk dan membiarkan tergantung dengan kendaraan pribadi. Namun ada alasan lain yang menyebabkan lonjakan kendaraan pribadi, seperti akses mudah untuk mengajukan kredit kendaraan. Iklan-iklan motor dan mobil penuh dengan klaim DP 2 juta — atau bahkan kurang dari itu!
Transportasi Umum Bandung Dalam Sejarah
Dulu, transportasi umum Bandung kondisinya tidak semenyedihkan sekarang. Awal abad 20 ditandai dengan pembangunan berbagai prasarana dan sarana fisik. Salah satunya adalah optimalisasi transportasi kereta api yang menghubungkan Bandung dengan kota-kota besar di Jawa yang ada di sebelah timur Bandung. Upaya yang dilakukan antara lain mengoptimalkan hubungan kereta api antara Bandung dengan Batavia, membangun halte-halte di sekitar kota, serta membangun jalur jalan kereta api baru untuk jarak pendek untuk Bandung dan daerah-daerah sekitarnya, seperti Purwakarta dan Cikampek. Sementara jalur lintasan kereta api lokal di antaranya, Rancaekek-Jatinangor, Bandung–Soreang, dan Soreang–Ciwidey, Bandung–Citeureup–Majalaya, dan Dayeuhkolot–Majalaya.
Sejak tahun 1950an, Damri telah memiliki terminal penumpang yang beroperasi di Jalan Cikapundung Timur. Ia melaju mengelilingi Cicadas–Alun-alun-Andir, dan Alun-Alun–Dago. Ketika memasuki era 1980-an rute andalan diantaranya Cicaheum–Cibereum, Kalapa–Buah Batu, Kalapa–Dago, dan Kalapa–Ledeng. Kemudian di tahun 1970an ada angkot yang terminalnya terletak di Alun-alun Selatan, berbarengan dengan sado dan delman. Angkot adalah wilayah sisanya yang tidak tersentuh oleh Damri.
Ada 39 trayek angkot untuk kota Bandung yang ini sebenarnya sesuai dengan kontur jalan Bandung yang sempit dan tidak mengalami pelebaran besar-besaran, misalnya seperti Jakarta.
Dalam sejarahnya sejak 1970an hingga puncaknya 2015an angkot ini menjadi pilihan utama wargi Bandung untuk aktivitas sehari-hari, sebelum sekarang digantikan oleh kendaraan pribadi. Selain itu, disinggung di atas bahwa angkot merupakan ’usulan’ dari masyarakat, yakni mereka yang tergabung ke paguyuban Koperasi Angkutan Masyarakat (Kopamas) yang telah berdiri sejak tahun-79 dari para sopir dan pengusaha angkot di kota Bandung.
Menurut pengakuan Budi Kurnia, selaku ketua Kopamas, ada suatu masa ketika Kopamas mengelola 4 trayek dengan total jumlah armada 218 unit. Bahkan para sopir dan pengusaha bisa menggantungkan nasib hidupnya dari angkot. Kini, hanya ada 140an unit yang tersisa. Keseluruhan angkot yang dikelola Kopamas yang dulunya 5.521, sekarang diperkirakan hanya tersisa setengahnya.
Selain itu, Budi juga risau akan kebijakan baru terkait Bus Rapid Transit (BRT) dengan 14 koridor yang akan dicanangkan tahun 2024–2025. Artinya berarti kehadiran angkot yang telah lama secara historis dan menjangkau wilayah terluas di Bandung bisa-bisa lenyap. Oleh karenanya, pihak dari Kopamas sendiri intens menjalin hubungan dengan Pemkot dan menyiasati agar angkot tidak berhenti beroperasi.
Hal ini juga senada dengan apa yang Frans Ari Prasetyo, pengamat pengamat kebijakan publik dan tata kota, katakan. Ia begitu risau dan geram melihat kebijakan-kebijakan reaksioner untuk menjawab permasalahan transportasi publik di Bandung. Menurutnya, kesalahan fatal dari pemerintah adalah mereka mengabaikan fakta bahwa sejak tahun 70an trayek angkot tak berubah, sedangkan kultur dan moda transportasi masyarakat berubah. Di sini ia tidak melihat adanya dialog untuk mencapai solusi dari angkot. Pemerintah malah mengeluarkan kebijakan aneh, seperti Grab To Work untuk PNS pemerintahan.
Padahal menurut Frans sebenarnya bisa lebih serius untuk menangani akar permasalahannya, seperti merevitalisasi angkot, penambahan jalan jalur khusus, memberikan subsidi pada sopir angkot dengan implikasinya pelajar bisa naik angkot gratis atau ongkos murah, adanya insentif, asuransi dan BPJS, penambahan trakeh. Tentu ini semua diemban oleh Pemkot.
Sementara Sony Sulaksono, pengamat dan ahli transportasi Institut Teknologi Bandung, memiliki kesamaan suara bahwa angkot harus dipertahankan mengingat cocok dengan kondisi jalan di Kota Bandung relatif kecil. Dari sini ia juga melanjutkan bahwa Pemkot sudah harus menaruh perhatian khusus pada transportasi umum secara umum, khususnya angkot. Di samping itu, harus diakui bahwa angkot juga harus berbenah seperti melakukan re-routing karena banyak wilayah belum terlayani oleh angkutan umum.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa Pemkot mengeluarkan kebijakan itu tidak hanya sebatas gimmick — ini seolah membenarkan pernyataan Frans bahwa respon Pemkot dalam melihat permasalahan seperti hanya ingin ‘dilihat kerja’. Padahal kebijakannya tidak bekerja untuk kebanyakan masyarakat.
Sebab, permasalahan angkutan umum Bandung bukan disebabkan oleh ketiadaan biaya. Toh apabila dibandingkan dari sisi finansial, Bandung memiliki APBD dan UMR yang lebih besar dari Semarang, Solo, dan Jogja. Tapi hal itu tidak menghentikan mereka dari mempunyai sistem transportasi yang lebih baik. Alih-alih menyisihkan APBD untuk subsidi angkutan umum atau memperbaiki yang sudah ada, pemerintah Bandung malah menyetujui subsidi kendaraan listrik.
Tapi tentu saja hal ini hanya dapat terealisasi apabila memang ada kehendak untuk melakukannya. Toh, pada akhirnya warga disuruh mencari solusinya sendiri dan bersabar karena ini adalah cobaan — ya betul, cobaan dari pemerintah yang abai dan tak pernah belajar dari sejarahnya.