Demokrasi dan Persebaran Informasi

Pam
5 min readAug 20, 2019

--

Sumber gambar: https://www.japantimes.co.jp/opinion/2018/02/19/commentary/world-commentary/information-technology-poses-threat-democracy/#.XMltLOgza00

Kalau kita lihat kembali geliat persebaran informasi amat gampang tersebar. Barangkali kecepatan dari satu sumber pengirim ke penerima lainnya melampaui kecepatan kedipan mata. Tidak jarang bagi sebagian orang yang turut menerima atau menyebarkan ulang suatu informasi tersebut secara sadar dan tak-sadar. Terlebih di akhir ini, menuju tanggal 17 April, nampaknya intensitas pergantian dan perpindahan suatu informasi akan melampaui dari bentuk sebelumnya.

Sudah menjadi hal umum bahwa semua orang bisa mengakses informasi. Hampir semua orang berburu informasi terkini. Tidak jarang momen itu dimanfaatkan secara sengaja atau tidak sengaja guna menonjolkan atau mendiskreditkan salah satu calon, dengan membagikan informasi tersebut untuk mengubah atau membenarkan tiap pasangan tersebut untuk mempengaruhi psikologis dari penonton, pendukung, pendengar untuk terpikat ke dalam tawaran atau citraannya — dalam hal ini berkaitan dengan calon presiden dan wakil presiden beserta pekerja, simpatisan dan turunan lainnya yang menyebarkan dan meramaikan sebagian besar ruang di media massa.

Lazarsfeld dalam Filsafat Komunikasi (2015) mengatakan bahwa media massa mampu dijadikan alat untuk mengontrol masyarakat — mengubah selera masyarakat mengenai informasi yang ditampilkan melalui citraan yang terus-menerus direproduksi. Terutama di tengah kondisi yang sangat-amat-begitu sensitif dan sedang giat-giatnya untuk menyebar-mengontrol-mengubah tubuh masyarakat untuk masuk ke dalam permainannya. Tidak jarang bagi pemain untuk mengajak tergabung ke dalam golongannya.

Ibarat tukang jualan, kedua pasangan tersebut sedang gembar-gembornya memberikan penawaran terbaik dan terhebat agar pembeli terpikat, setidaknya pembeli maulah mencoba dulu produk hasil citraannya. Selain ibarat tukang jualan, kondisi saat ini, khususnya di media massa, dimungkinkan untuk terus berputar dan berkisar seputar tagar mana yang paling atas di kolom pencarian, akun buzzer mana yang paling vokal dan mampu menginvansi jam-jam kosong pengguna media massa, dan hal-hal buruk lawan apa saja yang bisa ditonjolkan, serta hal pantas apa saja yang bisa diberikan kepada penonton, pendengar, dlsb.

Mengkonsumsi Informasi Berlebih

Baudrillard (1983) mengatakan bahwa kini kita hidup di mana terlalu banyak informasi, tetapi sangat sedikit yang bermakna. Baudrillard lebih lanjut mengatakan kalau informasi itu kini justru “melampaui” yang semestinya menciptakan suatu komunikasi atau memproduksi makna. Kenapa demikian? Karena menurutnya, informasi itu merupakan sebuah jalinan penanda yang sengkarut, dari tanda, gaya, kode, bentuk simulasi — seolah-olah informasi tersebut lebih nyata ketimbang realitasnya (simulakra).

Salah satu contoh simulasi ialah iklan dalam kaitannya dengan media. Sebab iklan tidak lagi mengharuskan setiap orang untuk bertanya kehadirannya, karena ia memproduksi dan mencampuradukkan mana yang bermakna dan yang tidak bermakna secara bersamaan — dimulai dari fungsi referensialnya, fungsi puitik, kiasan, ironi, permainan kata-kata, ketaksadaran, semuanya diulangi secara terus-menerus. Melalui simulasi pula, kita tidak dapat membedakan mana yang real dan fantasi, asli atau palsu, mulanya A, kemudian menjadi A’, atau A”’, dan bahkan bisa lebih daripada itu, sebab perbedaan tersebut sangatlah tipis.

Kita tidak bisa mengatakan mana yang lebih asli, sebab simulasi menggantikan atau menghapus asal yang telah tergantikan dalam bentuk buatan gambaran dan citraan dan membuat kita untuk percaya memang seperti itulah (simulakra). Hingga pada akhirnya yang tersisa justru sengkarut realitas yang telah lama didiami. Hal ini telah dikhawatirkan oleh Lazarsfeld (2015), ia pernah berkata bahwa ketika suatu informasi yang begitu banyak itu menyebar begitu saja lalu kemudian dengan mudah diakses oleh media, maka informasi tersebut memungkinkan segala isu yang ada di dalamnya tidak lagi mampu dicerna dengan baik, dengan kata lain hanya mampu mengetahui berdasarkan yang telah disajikan dan sang penerima menjadi gagap untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Terlebih kita sendiri telah menyaksikan bagaimana media massa, twitter, instagram, facebook atau berita daring dan cetak selalu memiliki informasi yang bisa disajikan. Lewat kecanggihan teknologi, segalanya menjadi cepat dan mungkin bahwa kita tidak memiliki waktu untuk mencernanya. Untuk sebagian orang, fenomena yang mencuat tanpa henti jelang 17 April, justru menimbulkan rasa muak dan bahkan tidak sedikit yang mengharapakan agar para buzzer habis masa kontraknya. Dengan begitu kita bisa bernafas barang sebentar dan menikmati lenggangnya aktivitas di media massa.

Keluar Dari Kerumunan

Barangkali kita memang perlu untuk menengok kembali gagasan dari barisan filsuf eksistensialis, dimulai dari Kierkegaard, Nietzsche, Karl Jaspers, Merleau-Ponty, Sartre, Camus, Husserl, Heidegger, dst untuk berhenti sejenak dari arus massa demi memahami eksistensi dari kita, sebelum memutuskan dengan gagap dan megap-megap dalam barisan keumuman. Sebab dengan mengundurkan diri dari kontestasi dan percepatan perubahan berarti menandakan bahwa kita masih memiliki atau menyadari eksistensi sebagai manusia. Sebagai manusia maka eksistensi tersebut, sesuai dengan tradisi eksistensialis, ditentukan, dipahami, dijalani oleh dirinya sendiri. Biarkan dunia berlari dan terus berubah ke dalam bentuk apa saja, sementara manusia perlu untuk memahami aspek lain dari yang tidak disorot oleh dunia, oleh suatu massa, suatu teknologi.

Fenomena di atas merupakan salah satu fenomena yang disebut oleh Hardiman (2016) sebagai banalitas, yakni, ketika setiap manusia ikut ke dalam arus massa tanpa pernah mengetahui eksistensi dan makna bagi dirinya ketika ikut tergabung ke bentuk das-man. Sebuah aktivitas yang hanya mengikuti keseharian tanpa pernah menanyakan mengapa orang tersebut misalnya mesti mengikuti pilihan politik sama, buku yang mesti disukai dan dipelajari, musik yang wajib didengarkan, bahkan sampe urusan baju dan celana pun memiliki aturan mana yang boleh dan tidak.

Padahal dalam bukunya Heidegger, Being and Time (1962) ia menegaskan bahwa manusia itu ialah Das-sein yang artinya Ada-di-sana dan selalu merupakan bentuk kata kerja yang tak pernah usai. Memang kita hidup di dalam masyarakat sosial (das-man) yang menarik ulur ke arah mana manusia akan berada. Apabila kita terjerembab ke dalam suatu massa maka bisa dipastikan bahwa ia mengalami suatu pelupaan akan Ada di dalam aktivitas mengadanya tersebut.

Apabila manusia (Dasein) berhasil melepaskan dari kungkungan kolektif, maka ia barangkali juga bisa menangkap fenomena dari Ada. Pun Ada-nya-Daseintidak akan pernah tertangkap sama sekali. Sebab hanya diri kitalah yang pada akhirnya mesti diteliti dan diresapi atau dipahami dalam kesehariannya. Bukan hanya sesuatu yang di-luar dari manusia, melainkan di-dalam-diri itu sendiri, melalui keseharian atau penampakan dari kita. Sebab manusia mesti berada pada suatu ruang, tempat, suatu ‘dunia’ untuk bisa memahami esensinya sebagai suatu bentuk eksistensial dan hal ini yang memungkinkan manusia itu kerasan maupun tidak kerasan.

Lebih lanjut Heidegger (The Question Concerning Technology and Other Essays, 1977) menyoal teknologi yang memang bagi kita secara luas tidak mungkin untuk menolak keberadaan dan kegunaannya. Ia mengajak kita untuk menanyakan esensi dari teknologi, khususnya teknologi modern. Heidegger memahami teknologi jauh sebelum bentuknya yang sekarang disebutnya sebagai tuan dan budak serta sebuah tantangan. Menurutnya teknologi harus menjadi instrumen dari aktivitas manusia dalam penyingkapan kebenaran. Karena teknologi itu merupakan suatu aktivitas dan kemampuan dari sang ahli ketika menggunakan teknologi tersebut yang memerlukan seni berpikir dalam membuat seni yang baik — sesuatu yang bersifat puitik dan merupakan bentuk penyingkapan kebenaran.

Heidegger ingin menegaskan bahwa teknologi itu semestinya berguna-kepadadan membawa suatu penyingkapan. Dengan kata lain, manusia mesti mengambil langkah, mundur atau terus tergabung ke dalam suatu-massa, sembari menunggu dengan sabar ketika pesta-demokrasi ini berakhir untuk sementara. Alangkah baiknya untuk memilih sikap diam, berjalan-jalan atau kembali membaca gejala, mengkritisi keramaian yang terpampang begitu saja di hadapan kita. Selanjutnya biarlah masa-depan itu datang dan barangkali perdebatan serta perselisihan di media massa hanyalah simulakra.

Sumber Pustaka:

Hardiman, F. Budi, Heidegger dan Mistik Keseharian, cet, ke-3 (Jakarta: KPG: Kepustakaan Populer Gramedia, 2016)

Heidegger, Martin, The Questioning Cocerning Technology, (United States: Garland Publishing, 1977)

Heidegger, Martin, Being and Time, (UK: Blackwell Publisher, 1962).

Baudrillard, Jean,

Maulana, Syarif. Filsafat Komunikasi: Dari Sokrates Hingga Buddhisme Zen, (Bandung: Publik Edu Media, 2015)

Simulacra and Simulations, terj. Paul Foss, Paul Patton and Philip Beitchman (New York: Semiotext(e), 1983, original publication,
1981)

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

No responses yet