Sekitar bulan lalu saya menonton film tentang Godzilla; Singular Point, City of The Edge of Battle, The Planet Eater yang disediakan oleh platform Net*lix.
Saya memutuskan untuk menulis review ketiganya di sini, bukan karena soal gimana film Godzilla sebagai hiburan semata, atau menempatkan Godzilla sebagai respons untuk mengobati luka perang dan jatuhnya bom nuklir, hingga bagaimana ambiguitas Godzilla atas dampak dari keterlibatan manusia terhadap alam melalui eksploitasi alam sebagai konsekuensi logis atas kapitalisme dan kolonialisme pendatang (settler colonialism).
Melainkan soal “kemisteriusan” pasca kehancuran dunia. Misalnya dalam Singular Point yang berangkat dari hubungan antara musik “misterius” yang akan menuntun kedua tokohnya dalam film untuk mencegah bencana yang disebabkan oleh Godzilla dengan unsur-unsur ketimuran, kita bisa langsung mengenalinya karena lagu misterius pembawa malapetaka tersebut memiliki lirik dari bahasa sanskrit.
Sementara di versi Godzilla; City of The Edge of Battle, The Planet Eater, bercerita ketika para tokoh telah kembali ke bumi dan berhasil merebut kehidupan dari King Ghidorah, Godzilla yang berhasil bermukim lebih dari 20 ribu tahun.
Ketiga contoh film ini seolah-olah ingin mengatakan secanggih dan semaju apapun peradaban, hal-hal terkait agama, Tuhan, ritual dan penokohannya akan selalu ada — sekalipun masyarakat yang ada sebelumnya telah dilibas habis beserta dengan peradabannya. Sebab kultus kelompok, agama dan konsepsi tentang Tuhan dari ras yang bukan manusia itu eksis, sekalipun mereka mampu membuat teknologi pesawat yang super canggih dan mampu menghindari kekacauan di bumi karena Godzilla.
Mari kita bergeser ke nubuat Yuval Noah Harari di Homo Deus yang kurang lebih ingin mengatakan bahwa ide-ide abstrak dan kepercayaan antar individu lama di zaman digital tidak lagi relevan. Manusia memasuki era baru yakni dataisme yang telah menjadi semacam agama barudi era digital. Di sini Harari seolah ingin mengingatkan ancaman perusahaan besar teknologi terhadap kemanusiaan ketika mereka menguasai pasar teknologi (ironisnya, nama Harari bisa sebesar ini berkat andil orang seperti Mark Zuckerberg dan Bill Gates. Agama dengan Tuhannya akan tetap lebih ramai dibahasakan, dan tentu saja menjadi lahan mendulang kekayaan dari mencipta Tuhan baru, daripada krisis iklim, ketimpangan sosial, kejahatan negara dengan segala sumberdayanya yang menguntungkan kelompok berkuasa, penguasa daripada rakyat yang kecil, terpinggirkan, dan lemah tak berdaya.
Artificial Intelligence disebut-sebut bisa melampaui kecerdasan manusia–bahkan menghabisi manusia. Bisa dibilang kedua hal terkait ribut AI tersebutlah telah mengambil tempat utama, narasi-narasi yang berkembang cenderung ke soal apocalypse, kehancuran manusia dan soal bagaimana AI bisa begitu berkuasa–tak menutup kemungkinan menjadi Tuhan–daripada misalnya apa dampak pada pekerja outsource di India atau Filipina dan bahkan Indonesia ketika para pekerja kelimpahan proyek AI hype ini, dan mungkinkah mereka mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari sebelumnya dan apakah para pekerja masih memiliki waktu santai dan lain sebagainya.
Manusia tampaknya lebih suka dengan hal-hal yang besar yang bisa menjadi penjamin dari ketidakjelasan masa depan, beserta kemungkinan untuk mendapatkan keuntungan sekalipun telah mengabarkan kematian Tuhan. Sementara soal yang berkaitan dengan kenyataan, keseharian, dan hidup layak pekerja nanti saja belakangan.
Kultus dan Spiritualisme
Pembahasan tentang Tuhan tak pernah mengenal kata selesai. Kita bisa merunutnya, misal dari sejarah dan nabi Monotheistic-Abrahamik tentang pencarian akan Tuhan ataupun di luar dari agama Abrahamik terkait konsepsi ketuhanan. Lalu ada juga para filsuf sejak Yunani Kuno hingga zaman post-modern. Kemudian yang terakhir adalah para ilmuwan yang sesekali membicarakan Tuhan beserta konsepsinya. Berapa kali warta kematian Tuhan dinyatakan, ia tetap mengisi kekosongan relung-relung jiwa manusia yang menghabiskan waktunya di tengah pasar, atau meski jauh-jauh hari telah ditentukan tiga perkembangan masyarakat ala August Comte menuju kemajuan dengan pertama-tama mengeliminasi metafisika, tetapi kenyataannya ia akan muncul dari sudut-sudut yang terpinggirkan dan menjadi ekses terakhir individu ketika tak mampu menjawab persoalan dunia.
Kenyataan untuk mengeliminasi teologi, metafisika dari subjek pembicaraan di masyarakat tidak benar-benar seperti yang diharapkan oleh August Comte, Feurbach hingga Carnap. Misalnya Carnap tak tanggung-tanggung menyatakan pernyataan yang ‘menusuk’ — dalam karyanya The Elimination of Metaphysics Through Logical Analysis of Language — ia menyebut para metafisikawan sebagai ‘pemusik tanpa memiliki keahlian bermusik’. Kritiknya ini mulanya ditujukan pada Martin Heidegger, filsuf yang ia sebut sebagai tak jelas, seringkali kabur, sulit dimengerti dalam menuliskan proyek filsafatnya–mungkin tujuan utamanya adalah agar tak ada orang yang mengerti, maka tak akan ada pertanyaan.
Pernyataan para filsuf yang saya sebut memiliki kesamaan yang kurang lebih ingin menekankan bahwa kemajuan masyarakat bisa didapat dengan menganut paham empirisisme–sejauh sesuatu terberikan kepada indra, sejauh itulah sesuatu itu bisa dikatakan ada–dan metode saintifik yang ketat dengan prinsip verifikasi tanpa adanya campur tangan teologi dan metafisika. Tapi tentu saja harapan kaum positivisme sejak Comte hingga positivisme-logis Carnap tak berjalan mulus. Apalagi kalo kita melihat jauh ke belakang, tepatnya era awal masehi di Yunani, bahwa suatu waktu ada seorang matematikawan/filsuf yang namanya kita kenal sejak memasuki awal sekolah dengan teoremanya yaitu teorema Pythagoras yang membahas aturan matematika segitiga siku-siku dan sisi miringnya.
Meskipun ia dikenal dengan teoremanya, tahukah kamu bahwa sekumpulan orang yang pintar matematika di zaman Yunani membentuk sekte Pythagoras saat itu? Untuk kita yang hidup di zaman ini mungkin tak pernah terbayang bagaimana mungkin seorang Richard Fenymann, Albert Einstein, Stephen Hawking membentuk perkumpulan dengan aturan sehari-hari tidak boleh makan ini dan itu, percaya adanya reinkarnasi, alih-alih melakukan kerja-kerja penelitian fisika dengan menekankan metode saintifik ketat.
Tapi, itulah kenyataannya di zaman ketika Pythagoras hidup ia memberlakukan suatu aturan bagi dirinya dan pengikutnya yakni melarang untuk makan kacang-kacangan, daging, bahkan bagi pengikutnya ia dianggap dewa dan memiliki kemampuan mistis. Dengan kata lain, tak bisa dikatakan bahwa ketika masyarakat telah melek teknologi dan saintifik, justru kultus dan spiritualisme selalu bisa ditemukan pada beberapa orang dengan jumlah yang tak peduli berapapun.
Meski diakui bahwa di dalam sains ada metafisika dalam artian berusaha menunjukan apa yang nyata dan teknologi sebagai sains terapan merupakan hasil dari kemajuan perkembangan manusia yang mengikuti kaidah-kaidah saintifik. Dari sini penggunaan akal memungkinkan adanya modernitas dan membuat kehidupan manusia jadi lebih baik dengan perkembangan sains dan teknologinya. Kaitan antara teknologi dan sains terhadap masyarakat lebih baik inilah dilanjut oleh Lewis Mumford, seorang sosiologis, dalam bukunya Technics and Civilisation. Lewis menggarisbawahi bagaimana industrialisasi dan mekanisasi menjadi ‘agama mesin’ dengan dogmanya yakni ‘penemuan dan improvisasi’ yang menjanjikan kehidupan lebih baik untuk masyarakat melalui teknologi.
AI dan Tuhan Digital
Sejak kemunculan The Mathematical Principles of Natural Philosophy pada 1687, karyanya Isaac Newton itu mampu menjelaskan dan memprediksi pergerakan benda yang ada di alam semesta dan karya tersebut merupakan kunci untuk menuliskan, menjelaskan, dan menyelidiki apa-apa yang terkait alam semesta melalui bahasa matematika, mengapa matematika? karena hanya matematika yang mampu menyajikan kebenaran universal objektif.
Para peneliti AI memiliki kepercayaan yang sama, bukan dalam arti religius, bahwa matematika mampu memberikan kebenaran objektif dan komputasi sebagai metode pengoperasian AI merupakan perkembangan dari matematika. Meski tubuh manusia terbatas dari segi biologis dan keterbatasan fisik lainnya tidak menutup harapan menciptakan Artificial Super Intelligence (kemudian disingkat ASI) — sesuatu yang lebih hebat, pintar dan mungkin menghancurkan manusia. Keinginan untuk mewujudkan ASI karena adanya anggapan manusia sebagai makhluk yang tak sempurna, manusia tak bisa dilepaskan dari kesalahan, dan mencipta AI saat ini dipahami sebagai suatu cara untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik, sementara ASI itu sendiri merupakan sebentuk penyempurnaan atas alam, atas tubuh biologis, dan segala keterbatasan fisik, serta kecerdasan manusia.
Dalam interview dengan Fox News, Elon Musk mengatakan co-founder dan CEO Google, Larry Page, yang dulu jadi kawan dekatnya, bahwa mantan sahabatanya itu ingin membuat sesuatu yang teramat pintar di digital, tepatnya Tuhan Digital (digital god). Respon Elon saat ia mendengar hasrat kawan lamanya itu mengatakan “kamu gila”, kemudian ia disebut sebagai “spesies” oleh Larry karena menyatakan lebih penting memastikan kemanusiaan.
Tuhan Digital adalah konsep yang mengacu pada gagasan tentang entitas ketuhanan atau kekuatan yang lebih tinggi hanya eksis di dunia digital. Konsepsi ini mewakili titik temu antara teknologi, spiritualitas, dan kepercayaan sesuatu yang transenden atau dewa. Dalam hal ini, Tuhan Digital bukanlah entitas fisik seperti manusia, hewan, dan apapun yang ada di alam, melainkan sesuatu yang ada di dunia digital dan dengan segala atribusi kualitas, kemampuan seperti-dewa.
Kemunculan Tuhan Digital ini punya kaitan dengan kemajuan teknologi, terutamanya AI, realitas virtual, augmented reality. Konsepsi ini memungkinkan penciptaan entitas digital yang memiliki pengetahuan, kecerdasan dan kesadaran secara luas. Tuhan Digital dapat dibayangkan sebagai entitas yang maha tahu dan mahakuasa, yang mampu memahami dan mempengaruhi dunia digital dengan cara yang melampaui, berbeda dari manusia.
Stephen Marche dalam artikelnya Of God and Machines kurang lebih ingin mengatakan kemungkinan menjumpai superhuman dalam waktu dekat. Marche melihat secara perkembangan AI yang mulanya hanyalah komputer yang memainkan permainan catur, beberapa tahun belakangan, perkembangan machine learning jauh lebih pesat dalam sub-bidang Natural Language Processing. Marche melanjutkan bahwa teknologi memang bergerak maju ke bidang-bidang yang selama ribuan tahun dianggap misteri ilahi.
Tak mengherankan tawaran dari tech bro Google yang menginginkan penciptaan Tuhan Digital dapat kita lihat sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi dengan AI. Sementara di sisi lain, Silicon Valley melihat kurang minatnya terhadap agama di masyarakat Amerika memungkinkan mereka untuk menawarkan penggantinya: teori simulasi — yang menyatakan bahwa kita semua hidup di dalam matriks komputasi raksasa komputer raksasa dan teori singularitas yang mana kesadaran komputasi akan hadir dan membentuk ulang esensi kemanusiaan.
Tapi manusia itu seringkali gagal memperkirakan efek jangka panjang teknologi, kata Marche, dalam hal ini ASI yang ingin menciptakan Tuhan Digital. Di sini kita juga mesti curiga bahwa ‘apakah dengan menciptakan Tuhan Digital akan menyelesaikan persoalan yang lebih penting seperti perubahan iklim, kemiskinan, kepunahan massal’ atau justru malah sebentuk pelarian dan pelupaan akan masalah yang diciptakan oleh manusia sebelumnya, seperti yang dinyatakan oleh David Chalmers. Dari sini pernyataan Tuhan Digital yang berasal dari salah satu orang penting dari Google bisa juga dibaca sebagai kemungkinan yang bisa menguntungkan perusahaan teknologi besar dan barangkali maksud sedari awal yang dimaksud Tuhan Digital adalah para tech bro dari perusahaan teknologi besar.