Hakikat Manusia dalam Pemikiran Muhammad Iqbal

Pam
11 min readApr 23, 2021

--

Henri Bergson pernah suatu kali menulis bahwa seorang filsuf hanya memiliki satu hal besar yang ingin dikatakan. Hal ini juga berlaku bagi Muhammad Iqbal (1875–1938). Dalam tulisannya, baik itu puisi, filsafat, dan politik, Iqbal memiliki satu bahasan khusus yang ia coba untuk pikirkan khusus: tentang pribadi atau kepribadian (self or selfhood) yang disebut sebagai khudi. Dari sini kita akan coba mendiskusikannya tentang kepribadian seseorang, pribadi manusia, atau tentang kondisi manusia.

Kontribusi Iqbal bagi pemikiran filsafat modern Islam bukan hanya untuk memahami dampak dari modernitas bagi Islam dan Muslim, lebih daripada itu dari tulisannya mengungkap perjuangannya dengan istilah hakikat manusia muslim Modern dan konstruksi hakikat manusia yang ada pada abad ke 20.

Iqbal sadar betul bahwa ide dan konsep keduniaan yang manusia ada di dalamnya ini tidak ada begitu saja, melainkan sebuah konstruksi dari masyarakat yang mengkonstruksikan ulang secara konseptual dan secara teknis. Masyarakat sudah selalu direkonstruksi ulang sesuai dengan evolusi dari imajinasi serta spirit dari tiap individu.

Oleh karenanya Iqbal percaya bahwa seorang Muslim bisa untuk membuat pemikiran baru. Ia menulis, ‘Nor can the concepts of theological systems, draped in the terminology of a practically dead metaphysics, be of any help to those who happen to possess a different intellectual background’.

Selain itu ia juga paham betul bahwa kenyataannya ia hidup dalam setiap zaman yang memiliki mitos dan metafisikanya sendiri, meski ada ide-ide yang masih memiliki keberlanjutan ataupun keputusan. Ketika ia menawarkan secara singkat gambaran figure utama dari pemikir Islam masa lalu, ia benar-benar mengajak orang Muslim untuk mengoptimalkan ide-ide mengenai kondisi manusia yang mungkin.

Dalam pembacaan naskah kuno, teologi, doa-doa, filsafat dan etika yang termuat dalam karyanya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Ia menuangkannya dalam karya tersebut dan secara hati-hati menyarankannya bahwa dunia Islam ‘harus berani melanjutkan kerja-kerja rekonstruksi karya,’ yang bukan hanya menyesuaikan dengan kondisi modern’ (Iqbal 1999: 142). Selain itu ia juga mendorong para pemikir selanjutnya dengan harapan seorang pemikir selanjutna bukan hanya memikirkan keselurahan dari system Islam serta tanpa harus meninggalkan atau melepaskan masa lalu.

Satu-satunya jalan yang terbuka bagi kita ialah dengan merengkuh pengetahuan modern bersamaan dengan sikap mandiri dan menghargai ajaran yang terkandung dalam Islam. Meskipun hal ini yang akan membedakan kita dari para pendahulu yang mendahului kita.

(The only course open to us is to approach modern knowledge with a respectful but independent attitude and to appreciate the teachings of Islam in the light of that knowledge, even though we may be led to differ from those who have gone before us. (Iqbal 1999: 78) )

Hakikat Manusia dan Paradoks Wahyu

Iqbal membuat gagasan utama bagi hakikat manusia Muslim. Ia mengadaptasi ulang gagasan Persian mengenai khudi dengan menghilangkan arti negativenya: ke-aku-an dan egoisme. Kemudian ia memasukan gagasan khudi dalam bentuk yang positif. Iqbal merekonstruksi dan mengembangkan gagasan khudi dalam berbagai penggunaan dan bentuknya, dan ini yang menjadikan gagasan utama dalam puisi dan estetika politiknya.

Dalam hal ini ia menghasilkan pikiran yang secara berulang menegaskan tentang keakuan dan diri sebagai hal yang esensial bagi kondisi kehidupan manusia. Tanpa aku atau ke-aku-an, manusia bukanlah apa-apa. Tapi sebenarnya, menurut Ebrahim Moosa, pemikirannya ini merupakan sebuah gambaran reflektif untuk mengamankan tradisinya dan di sisi lain mempertanyakan diri-sendiri yang merupakan dampak dari modernitas.

Ia secara sadar dengan mempertanyakan mengenai diri dapat memiliki implikasi yang banyak baik itu secara budaya dan filosofis. Namun, apabila melihat sejarah, seperti para mistikus Muslim, filsuf, dan orang-orang saleh dalam setiap generasi selalu memiliki gagasan tentang diri. Iqbal tidak jarang merujuk pada sederet pemikir seperti al-Ghazali, Ibn Rushd, Rumi, Kant, Hegel, dan Nietzsche yang memang tidak sedikit energy yang mereka curahkan untuk memahami mengenai hakikat manusia dan kondisi manusia. Permasalahan ini masih terus berlanjut hingga saat ini. Apalagi bagi abad ke 20, hampir semua pemikir dalam bidang social humaniora, ilmu alam menuliskan banyak hal dalam satu subjek, yakni mengenai diri manusia, hakikat manusia.

Menurut Moosa, dalam banyak puisi Iqbal dan karyanya Reconstruction, kita bisa melihat dan mendengar suaranya dalam upaya menjelaskan bagaimana diri ini bekerja dalam dunia. Dalam istilahnya, ia menulusuri bahwa khudi memberi arah dunia. Ia jelas bukanlah seorang yang sedang berilusi, abstrak, mistik, atau seorang filsuf yang sedang mengkonstruksi tentang hakikat manusia. Iqbal merupakan seorang pencari sejati.

Khudi merupakan bagian dari metafisika Iqbal, khudi membangkitkan elemen mythopoeic dalam budaya. Kategori seperti ‘true’ dan ‘untrue’ tidak memiliki artinya. Maksudnya, khudi dalam istilah yang Iqbal gunakan merujuk pada realitas non-empiris. Khudi merupakan bagian dari metafisika baru dalam konstelasi yang dijelaskan oleh Leszek Kolakowski sebagai unconditioned reality. Karena merupakan organ dari budaya, metafisika merupakan perpanjangan dari mitos inti kemanusiaan yang Kolkowski sebut ‘with the absolutely primal conditions of the realm of experience; they concern the quality of Being as a whole (as distinct from object); they concern the necessity of events’.

Khudi tidak lebih merupakan bahasa metafisika yang Bergson (1912:24–5) jelaskan sebagai ‘science, which claims to dispense with symbols’. Sebagai kategori metafisika, khudi ingin menggapai apa-apa tanpa ekspresi, penerjemahan, atau representasi simbolik dalam pandangan Bergson. “Setidaknya, hanya ada satu realitas yang kita raih dari dalam dengan intuisi dan bukan dengan analisis sederhana. Realitas tersebut merupakan kepribadian kita yang mengalir melalui waktu — menanggung diri. Secara intelektual kita tidak tertarik dengan hal lain, kecuali dengan diri kita sendiri.”

Refleksi metafisika tentang unconditioned reality membantu kita untuk memahami dunia pengalaman. Hal itu juga yang menjelaskan bagaiamana sebenarnya realitas dapat dimengerti oleh kita. Penggunaan khudi mensignifikasikan undoncitioned dan contioned realitas; antara divine-like dan life-like. Khudi sebagai unconditioned reality berarti juga memelihara kehidupan (conditioned reality) dalam seluruh kompleksitas dan aktulisasi manusia.

Dalam pandangan Iqbal, Khudi ialah rahim atau yang membuahi makhluk agar dapat mewujudkan bentuk kehidupan baru: ontology. Meskipun Iqbal tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai ontologinya. Kita tahu bahwa ontologi merupakan pertanyaan berada di dalam dunia. Apa yang membuat pemikiran Iqbal menarik ialah menyelidiki pertanyaan yang melampaui batasan tentang bagaimana seseorang hidup.

Pertanyaan yang diajukannya tidak hanya ada dalam Reconstruction, melainkan meliputi puisi dan aktivitas politiknya. Menurut Moosa, dalam banyak hal, pemikiran Iqbal ini akan membantu Gilles Deleuze untuk memahami filsafat: pandangannya tidak memiliki muatan untuk mengetahui, ataupun terlihami oleh kebenaran. Menurut Mossa, tugas utama filsafat bagi Iqbal ialah bertujuan membuka pandangan baru untuk berpikir.

Pemikiran baru yang ia bayangkan ialah untuk mencari ‘dasar spiritual bagi masyarakat’ (19999: 142). ‘Kemanusiaan membutuhkan 3 hal’ begitu katanya. Tiga hal tersebut di antaranya: spiritual menginterpratasikan alam semesta, spiritual emansipasi individual, dan prinsip-prinsip dasar secara universal yang bisa mengarahkan evolusi masyarakat atas dasar spiritual.

Atas dasar apa kemanusiaan bisa dibentuk kembali? Kalo kita membaca penjelasan Mossa, maka jawaban yang akan Iqbal menjawab bahwa ‘pure reason’ maupun ‘pure thought’ tidaklah cukup apalagi hanya terbatas pada diri sendiri. Sebab yang Iqbal harapkan ialah terealisasinya dalam skala yang lebih besar, yakni meliputi masyarakat. Tidak berlebihan juga ia menganggap bahwa spiritualias merupakan rencana/rancangan peradaban yang inspirasi tersebut datang langsung dari ajaran Islam itu sendiri.

Di sisi lain pada saat itu Iqbal pesimis dengan peran kepemimpinan Eropa dalam kemajuan etika masyarakat. Ia menggambarkan Eropa sebagai ‘rintangan terbesar dalam kemajuan etika manusia’. Sebaliknya ia secara optimis dengan ‘kebangkitan Turki’ di bawah kepemimpinan Kemal di awal abad ke 20. Ia tidak bisa memprediksi secara tepat masa depan Turki, namun ia percaya betul dengan potensi ajaran Islam. Menurutnya, berbeda dengan masyarakat Eropa, masyarakat Muslim memiliki sesuatu yang melebihi Eropa. Sebabnya Muslim memiliki ide yang datang tak terduga, wahyu.

Dalam ajaran Islam yang unik itu ialah wahyu. Dalam wahyu, seseorang dapat menyadari pemenuhan dirinya sendiri. Namun kita tak boleh tergesa-gesa untuk bisa memahami apa yang Iqbal maksudkan dengan ‘wahyu’. Karena baginya manusia itu makhluk spiritual, hewan yang percaya, yang spiritualitasnya diwujudkan dalam wahyu. Konsepsi wahyu dalam pemikiran Iqbal memerankan peranan penting. Ia tak jarang juga menyuarakan dalam berbagai cara. Ia percaya bahwa yang membentuk manusia ialah ‘jiwa manusia’ (2000: 621). Selain itu dalam pandangannya, ‘inspirasi’ merupakan cara berhubungan manusia dengan dasar dari mengada (Iqbal 1999). Darimana Iqbal mendapatkan pandangan ini? Pandangan ini merupakan komitmennya terhadap Islam dan ajaran Islam. Wahyu dalam Islam merupakan hasil dari inspirasi (wahi). Wahyu ini juga menurutnya merupakan sifat universal kehidupan (1999: 100).

Dengan kata lain wahyu menjadi metonimi dari inspirasi; apakah tumbuhan dan hewan berkembang atau manusia menerima ‘cahaya dari dalam kehidupan’ itu tergantung sesuai dengan kebutuhan dari dari tiap makhluk hidup. Selain itu, adalagi hal yang paling menarik lainnya, kalo bukan yang paling kontroversional, yaitu komitmen terhadap artefak wahyu yang kita kenal sebagai inspirasi. Dengan demikian, menurut Mossa, bagi Iqbal Quran berarti inspirasi sempurna. Sementara tindakan membuat inspirasi tersebut sempurna ialah yang ia tekankan dengan istilah ‘penuh kesadaran’ yang berarti bergantung pada sumberdaya manusia.

Wahyu atau inspirasi sejatinya bergantung pada diri sendiri, pada internal diri, dan energi yang termanifestasikan dalam Quran menurut Iqbal ialah bahwa gambar besar yang muncul dari pewahyuan Muslim ialah penekannya pada alam dan sejarah sebagai sumber pengetahuan manusia dan mengenai diri.

Hal ini yang kemudian menurut Mossa seringkali disalahpahami oleh para pembacanya. Seorang moralis antrologi sekaligus arkeologi Iqbal mengatakan bahwa kesadaran propetik itu berkembang ketika ‘umat manusia minoritas’, dan ini ditandai oleh ekonomisasi pemikiran. Menurut Mossa, gagasan seperti itu yang mengatakan bahwa kesadaran propetik itu dibatasi merupakan produk dari ‘dunia lama’, meskipun Iqbal juga mengakui system filsafatnya yang luar biasa.

Meski diakui bahwa ‘dunia lama’ tersebut memiliki kekurangan seperti: primitive, diatur oleh sugesti, sangat abstrak, dan dicampuradukkan dengan yang samar-samar, yakni keyakinan, tradisi yang memberikan sedikit kontribusi untuk menangani hal-hal konkrit kehidupan. Iqbal melanjutkan bahwa dengan munculnya kelahiran akal pikiran dan sikap kritis manusia maka semua bisa berubah.

Di mana posisi Islam dalam hubungan ini? Menurut Iqbal, Nabi Muhammad berada di antara dunia lama dan dunia modern. Dalam istilah ‘sumber wahyu’ yang dimiliki oleh Nabi Muhammad merupakan bagian dari bentuk konkrik dunia lama di mana wahyu memberikan aturan-aturan untuk situasi konkrit pada saat itu (Iqbal 1999: 100–101). Sementara dalam semangat pewahyuan yang dimiliki Nabi Muhammad itu merupakan bagian dari dunia modern. Dengan kata lain, kelahiran Islam merupakan kelahiran dari ‘pemikir induktif’ (inductive intellect).

Menariknya apa yang Iqbal temukan dalam kisah-kisah Islam ialah tentang ‘idea finalitas’ atau konsepsi keakhiran dari nabi. Nabi Muhammad merupakan bukti dari dalam sejarah dan alam bahwa Nabi Muhammad merupakan ‘sumber pengetahuan manusia’. Menurutnya ide tentang finalitas juga berarti juga ide baru serta penghapusan kerajaan, pendeta, imam yang secara turun-temurun selalu berakhir dalam lingkaran kedekatan atau kekeluargaan. Secara filosofis, hal itu juga berarti membawa manusia kembali pada alam dan sejarah, kemudian akal dan pengalaman sebagai basis dari pengetahuan manusia.

Tujuan utama dari ide tersebut ialah untuk memunculkan pengetahuan baru dalam wilayah pengalaman batin manusia. Selain itu juga ide ini bertujuan agar manusia tidak selalu melihat ke langit untuk mencari ide, manusia harus mulai melihat pada dirinya sendiri bahwa dirinya merupakan sumber kehidupan.

Krisis dan Kreativitas

Bisa dibilang Iqbal menyadarkan kita. Ia merupakan filsuf dengan gaya seorang intelektual. Intelektual di sini berarti seperti apa yang Umberto Eco sebut sebagai seseorang yang secara kreatif menghasilkan pengetahuan baru. Kreativitas kritis merupakan motif utama Iqbal, sebab projek yang ingin ia lakukan ialah merekonstruksi pemikiran religious daripada berfilsafat. Gagasan seperti ini hamper serupa dengan ide dari Deleuze.

Sebagaimana Todd tunjkkan, Deleuze membedakan antara pikiran dan pengetahuan. Pengetahuan ialah rekognisi dan pemahaman atas identitas, aktivitas yang selama ini dilakukan oleh para filsuf analitik. Sebaliknya pikiran dalam pandangan Deleuze, menurut May tidak mengindeitifikasi dan tidak juga memberi kita pengetahuan. Pikiran itu melampaui apa yang diketahui dari balik, maupun dari dalam itu sendiri.

Seorang pemikr atau seorang thinker-philosopher seperti Iqbal tidak memilii ketertarikan untuk mengubah realitas. Ia berbeda dengan Marx. Baginya, revolusi terdalam yang harus dilakukan pertama-tama berasal dari dalam diri, bukan dari kondisi-kondisi material. Iqbal juga seringkali menunjukkan perbedaan antara banyak hal. Untuk menunjukkan perbedaan, dengan kata lain kreativitas, itu sebenarnya diri itu sendiri: khudi itu sendiri merupakan perbeda, pergerakan, dan kreativitas.

Iqbal seringkali mempertanyakan hal-hal yang mengusik, menyelidiki batas-batas kemungkinan alam dan politik, memprotes kekuasaan. Pertama-tama mesti diketahui bahwa dalam mempertanyakan alam dan sains, Iqbal tidak setuju dengan alam semesta yang statis, diam. Sementara dalam kaitannya dengan politik dan kolonialisme yang terjadi pada saat itu. Ia menolak dan memprotes keras atas tindakan kolonialisme. Ia juga mencela para pemikir statis Muslim sebagai penjaga gerbang ortodoks yang semakin buruk dan sering menjadi sasaran sindirannya. Karena baginya krisis yang dialami oleh pemikir Muslim masih terus berlangsung.

Dengan demikian secara umum Iqbal lebih cenderung tertarik pada apa yang disebut sebagai pikiran atau thought dan rekonstruksinya. Mengakui banyaknya gerakan reformasi yang menguasai dunia Muslim selama beberapa abad, Iqbal memberikan komentar terhadap perkembangan social dan intelektual. Ia paham betul kesulitan yang dihadapi oleh Muslim modern pada abad 20. Ia menyukai pemikiran dari Abu Hamid al-Ghazali yang dibekali dengan pengetahuan Barat serta metafisika Islam dan juga pengetahuan sains modern ketika ada kebenaran berubah, maka harus ada pendefinisian kembali.

Ia sadar betul bahwa pada zamannya, Muslim tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi pada saat itu. Oleh karena itu ia menelusuri kembali para pendahulunya dalam Reconstruction. Dia berada dalam satu gerbong dengan para pemikir Muslim modern yang telah melakukan rekonstruksi atas pemikiran religious baik itu secara metafisik maupun epistemolog. Sementara ontology Iqbal ialah perbedaan/difference, bahwa masa depan harus melalui eksperimen dengan tujuan agar bisa mengetahui kemungkinan baru ataupun kemungknian yang tak pernah terduga. Iqbal benar-benar tertarik dengan gagasan menjadi/becoming yang ia temukan dalam penulis awal Muslim, yakni Ibn Khaldun.

Sebagai figure cosmopolitan yang mempelajari juga filsafat, hokum dan sastra, Iqbal sadar betul tentang tanggung jawabnya sebagai intelektual. Iqbal juga optimis bahwa saat itu akan ada semacam perdamaian antara agama dan sains. Karena menurutnya tidak ada finalitas dalam berpikir filosofis sebagaimana dalam pengetahuan (sains) yang memungkinkan untuk membuka pikiran baru, pandangan lain itu dimungkinkan. Sementara tugas kita ialah mengawasi kemajuan dari pemikiran manusia dan tetap melakukan tindakan kritis secara mandiri.

Sejarah dan Kenabian

Inti dari pemikiran Iqbal ialah untuk menumbuhkan dan meraih semangat yang terkandung dalam sejarah, serta untuk mengembangkannya di mana ia hidup saat ini. Tak kalah pentingnya dari pemikiran Iqbal ialah ajakan bagi Muslim untuk mulai berpikir filosofis secara serius. Harus digarisbawahi bahwa konsepsi tentang sejarahnya tidak bisa lepas dari wahyu yang kita diskusikan di atas dan juga tentang kenabian.

Sementara Manusia Sempurna yang Iqbal sebut sebagai manusia beriman merupakan gambaran pengembara, pemberani, dan gagah. Alasannya ialah karena Manusia Sempurna mengandalkan intuisi. Intuisi merupakan esensi dari insting dan esensi dari akal. Iqbal banyak menggunakan istilah lain untuk menjelaskan intuisi — kasih saying (ishq), kepastian (yaqin), dan kepercayaan (iman). Intuisi terwujud dalam tauhid. Tauhid baginya merupakan tumpuan dan sintesis dari banyak hal — pluralitas dalam kesatuan. Dalam pandangannya, spiritual dan temporal bukannlah dua domain yang berbeda. Karena apa yang menentukan dari sebuah tindakan ialah intensionalitas atau apa yang ia sebut sebagai aktivitas yang tak terlihat di balik sebuah tindakan.

Sementara dalam gagasan wahyu dan kenabian merupakan gagasan paling menarik dan kreatif. Ada dua jenis akal yang terdapat dalam kenabian. Yang pertama ialah dialectical reason, gagasan diskursif di mana akal berkembang dengan sendirinya. Yang kedua ialah intuisional yang merupakan akal manusia yang percaya dan seringkali juga didatangi oleh malaikat.

Kenabian di sini penting karena ia berada pada tataran intuisi, yang mendapatkan pengetahuan langsung dari malaikat dan alam imajiner. Kenabian juga tidak tidak berada di luar sejarah, melaikan ia ada dalam sejarah. Misalnya Iqbal juga menaruh perhatian pada mistikus karena memiliki kesamaan dalam kesadaran propetik, yakni bersumber dari malaikat inspirasinya. Kemudian baginya yang mendasari eksistensi manusia bukanlah hal-hal materil, melaikan psikologis.

Hal ini yang dialami oleh Nabi Muhammad ketika ia melakukan Isra Mi’raj yang mengubah bentuk dari dunia manusia menjadi suatu perjalanan mistis pada Tuhan. Menurutnya peristiwa Nabi tersebut berbeda dengan apa yang dialami oleh para mistikus. Para mistikus cenderung tertarik untuk pengulangan dan intimasi terhadap yang-ilahi, sementara nabi lebih daripada itu, nabi bertujuan untuk menata kembali dunia. Menurutnya kesadaran yang bersemayam pada nabi merupakan kesadaran particular di mana menghancurkan yang lama dan membuat kembali yang baru. Hal ini bisa dimungkinkan oleh karena adanya inspirasi (wahyu) dan intuisi untuk melakukan transendensi dari batas-batas ruang. Selain itu katanya tanpa adana eros atau emosi, maka tidak akan ada momentum bagi sejarah.

Hal ini berkaitan dengan gagasan sejarah Iqbal mengenai kontinuitas. Sementara kreativitas dan imajinasi memerankan peranan penting dan saling keterkaitan. Sama seperti Ibn Khaldun, ia mengatakan bahwa sejarah merupakan kolektivitas, gerak yang terus-menerus, perkembangan atau kemajuan yang tak tak terelakkan. Jika dalam pemikiran Hegel spiritlah yang mendorong pergerakan benda-benda, maka dalam pemikiran Iqbal ialah diri, ke-diri-an, khudi yang dinamis. Khudi merupakan inti dari humanitas Islam dan kemanusiaan lainnya untuk mengaktualisasikannya.

Kesimpulan

Hakikat manusia dalam pandangan Iqbal ialah makhluk berakal, makhluk percaya, dan manusia beradab/etis dalam bingkai spiritualitas. Gagasan spiritualitasnya merupakan keterbukaan terhadap evolusi dan realisasi oleh manusia itu sendiri. Dalam gagasan diri tersebut hanya bisa diraih melalui cinta-ilahi, dan ketika tiap diri manusia menyadarinya maka itu merupakan kebangkitan umat manusia. Namun menurutnya hal yang menyenangkan ketika ingin mencapai kedirian ialah perjalanan.

Referensi:

The Human Person in Iqbal’s Thought, Ebrahim Moosa, 2015

Muhammad Iqbal: Essay On The Reconstruction of Modern Muslim Thought, H. C. Hiller & Basit Bilal Koshul, 2015

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

No responses yet