Kayanya udah lumayan lama aku engga menulis, draft naskah tulisan yang aku kirimkan berdasarkan informasi di sebuah platform tertulis ‘Oktober’ atau mungkin ‘November’. Selain itu, aku juga cukup sulit membagi waktu untuk membaca ketika punya sedikit waktu luang — menemani anak bermain atau membeli makanan kesukaannya atau mengobrol bareng vera hingga larut sembari melanjutkan aktivitas masing-masing.
Kalo tahun-tahun lalu, aku masih bisa berkejaran dengan rekomendasi bacaan yang direkomendasikan oleh seorang editor di media daring langgananku menulis. Kali ini aku ingin baca manga dan menonton anime saja, tanpa ada keharusan dituangkan jadi tulisan. Mungkin sesekali tak apa.
Meski sebenarnya tahun-tahun sebelumnya, ngga ada keharusan aku harus setor draft naskah, tapi kayanya waktu itu dunia berjalan lebih lambat dan aku bisa membuka tab banyak-banyaknya untuk kebutuhan naskah, alih-alih disesaki oleh dashboard ‘performa toko, ads manager’ dan notifikasi yang muncul ketika ada seseorang yang ‘menyukai’ postingan.
Konsekuensi pekerjaan ini harus kuterima sejak berkecimpungan dengan industri pada tahun 2018–2019. Bedanya tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya ialah dari yang semula bekerja sebagai ‘pekerja kontrak’ maupun ‘pekerja tetap’, kini statusnya lebih kepada ‘pekerja lepas’. Kadang kalo dipikirin kenapa kok berani mengambil resiko sebagai pekerja lepas yang ngga punya kepastian, daripada misalnya ikut kerja di perusahaan.
Sebenarnya ketika dipikirkan kembali, kayanya ngga ada beda kondisi ekonomi sekarang dengan predikat semacam itu: mau kamu hari ini pekerja tetap, pekerja paling berprestasi bulan Januari, pekerja paling rajin ngga pernah telat dan istilah kerja lainnya. Belum lagi batas-batas antara ‘pekerja kontrak’ dan ‘pekerja lepas’ itu ngga selalu menguntungkan pekerja. Hampir seluruh rekam keluar masuk pekerjaan selalu melibatkan proses nego ini: probation-pekerja kontrak-pekerja tetap-PHK atau keluar.
Ngga jarang aku sebut soal ini pengalaman yang memuakkan dan ketika aku mengalaminya, dunia yang sedang aku rencanakan runtuh seketika. Seperti lego Astroboy yang baru seperempat jalan kena senggol, harus dibangun lagi dari awal.
Perusahaan bebas mengubah dan membuat kontrak baru yang didalamnya menambahkan beban kerja baru. Ketika kontrak baru tersebut muncul hadapanmu, itu artinya kamu harus menandatangani saat itu juga. Istilah negosiasi telah tertutup rapat sejak pihak management dan HRD bersiasat ketika kamu tertidur kecapekan di kost yang bayaran bulanannya hampir 50% dari gaji bulanan. Bayangin gimana ngga muak dengan mode produksi dan sistem kerja yang makin menekankan gamifikasi: mulai dari nol, melewati misi, naik level pekerjaan makin susah, dan kalo itu semua berhasil akan dapat penghargaan yang telah diatur sebelumnya.
Hal seperti ini untuk sekarang memang sulit buat dihindari. Kamu akan dipaksa untuk bertaruh dan berjuang keras mengamini gashlight kantor bahwa ‘ekonomi lagi sulit, di luar sana sulit mencari kerja dan kalian masih untung bekerja di sini’ atau ‘memohon-mohon agar posisinya ngga digantikan oleh orang baru dan rela gajinya dipotong’ yang pada akhirnya tetap pada putusan yang paling tidak mengenakkan pada pekerja. Akhirnya kerja untuk bertahan hidup. Gimanapun kondisi dan jenis pekerjaan yang mengharuskannya.
Upstream
Hari ini aku luangkan waktu untuk menonton film yang lumayan ramai direkomendasikan oleh akun-akun review film di Twitter (aku engga mau menyebutnya X, seolah mengamini ide dari pendiri ‘mobil silver’), sekaligus dibikin jadi naskah tulisan ini.
Upstream berkisah tentang seorang Gao Zhilei, software engineer, yang telah bekerja selama 11 tahun di sebuah perusahaan bergedung tinggi dan apesnya ia kena PHK di umurnya yang ngga lagi muda, layak masuk panti jompo dan mengidap diabetes yang mengharuskan ia membawa insulin kemana-mana. Saat bagian kena PHK dan menghancurkan kaca pembatas antara ruang meeting dan ruang kerja, serta membawa persoalan pesangon, aku pikir film ini akan berkisah tentang itu: memperjuangkan pesangon, mengorganisir massa, dan membawa kemenangan pada kelas pekerja.
Tapi aku salah dan tersadar jika film ini bukanlah dokumenter seperti Dirty Money (2024) yang menceritakan kisah korupsi perusahaan, menipu customer dan menekan karyawan untuk mendatangkan customer baru — beberapa karyawannya mampu menggalang massa dan berbulan-bulan memperkarakan borok perusahaan di pengadilan.
Premise film ini cukup sederhana dan pembuat naskah film ini seperti ingin berkata ‘bekerja keraslah jika ingin mendapat rezeki yang banyak dan berbuat baiklah ke sesama pekerja’. Pada bagian kalimat pertama aku kurang setuju. Kenyataannya ngga sedikit dari kita yang bekerja lebih dari peraturan kerja 40 jam selama seminggu, tetapi pendapatan segitu-gitu aja. Belum lagi kita ngomongin gimana perusahaan mengakali peraturan agar tetap UMKM, supaya memberi gaji di bawah UMK. Bahkan tak jarang menambah lini bisnis baru menjadi job desk tambahan, tanpa memperbarui kontrak dengan gaji baru.
Sementara soal berbuat baik ke sesama pekerja ini yang aku ngga bisa menolaknya. Karena memang kalo para pekerja berserikat, manajemen sulit berbuat semena-mena dan kita bisa mengumpulkan kekuatan beramai-ramai. Serta tak jarang yang akan menguatkan dalam kondisi seperti itu ialah sesama kelas pekerja — dari mulai menawari lowongan kerja, mereferensikan ke tempat kerjanya, hingga tawaran kerjasama lainnya — karena PHK serupa kanker yang setiap waktu siap menjalar ke bagian tubuh lainnya.
Selama film ini bergulir, aku larut dalam momen-momen kebaikan yang menghampiri karakter filmnya. Dari mulai Gao Zhilei kena PHK, mengirim resume ke berbagai perusahaan dan ditolak karena umurnya yang lebih cocok bengong tiap pagi sambil menyesap kopi sachet, hingga terpaksa harus menjadi kurir antar pesanan karena hanya itu satu-satunya pekerjaan yang tidak melakukan diskriminasi umur dan fisik. Ada perasaan ‘bahagia’ ketika menjadi kurir pesanan karena ia akan mendapat uang bulanan untuk membiayai keluarga, dan lingkungan kerjanya yang supportif.
Meski ujungnya Gao Zhilei harus bekerja dengan sistem gamifikasi yang harus melewati beberapa tahapan untuk mendapatkan bayaran lebih, mempertahankan performa akunnya dari kecepatan dan penilaian pembeli, dan tak pernah bisa untuk mengubah sistem untuk gamifikasi yang lebih ‘ramah dan memihak pada pekerja’ yang seolah-olah itu semua ‘sudah ada dari sananya’.
Bekerjalah Secukupnya
Setelah menonton Upstream, aku makin yakin dengan ‘kerja secukupnya’ dan kerjakan sesuai dengan bayaran dan tugasnya. Lebih daripada itu harus dipertimbangkan lagi soal bayarannya, karena kita kerja dengan menjual tenaga dengan pekerjaan dan waktu tertentu untuk mendapatkan uang yang telah disepakati. Semisal masih ada orang yang menormalisasi ini, antara memang mencari cara untuk tetap dipromosikan menjadi contoh karyawan baik atau memang terpaksa karena tidak ada lagi peluang lain untuk dirinya bertahan hidup.
Tapi perlu digarisbawahi bahwa yang kita jual kepada pemberi kerja ialah tenaga yang kita miliki untuk suatu pekerjaan. Di luar pekerjaan, tentu kita bisa berbincang selayaknya antara individu. Film ini secara terang juga menunjukkan ‘bekerja lembur dan rajin’ tidak menjadikan dirinya kebal terhadap pemutusan hubungan kerja yang datangnya lebih cepat daripada respon dinas ketenagakerjaan ketika menerima adanya laporan perusahaan yang merugikan pekerja.
Yang tersisa dari kerja keras yang selama ini dilakukan bukanlah foto pekerja berprestasi, memimpin rapat tiap hari Senin, atau memenuhi capaian kinerja dan pujian-pujian yang dilontarkan oleh atasan kepadamu hanya untuk memastikan pekerjaanmu selalu tepat dan menurut. Karena pada akhirnya yang akan menemani ialah keluarga seperti istri, anak, orang tua (amu bisa tambahkan anggota keluargamu yang lain, seperti kucing, anjing, tanaman, mainan dan entitas imajinatif lainnya) yang hadir untuk saling menguatkan dan mencari solusi dari dunia kerja yang sakit.