Konsepsi Naturalisme dan Perspektivisme dalam Pemikiran Friedrich Nietzsche
Kemana kita harus mencari diri sendiri? –R. W. Emerson, Experience
Lima kata yang membentuk satu kalimat tanya dari Emerson membawa kita pada pertanyaan tentang hubungan antar manusia; tentang tempat kita di dunia; siapakah kita; sulitnya upaya untuk sebuah penemuan; apa artinya menjadi seorang manusia. Bukankah kita pernah mengalami situasi seperti itu? Setidaknya sekali ketika kita beranjak dewasa. Bahkan sampai saat ini jika masih ada yang mengalaminya, maka hanya dia yang bisa menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dalam babakan filsafat, permasalahan tentang asal usul manusia, kehidupan, makna hidup, pengetahuan, keindahan dan realitas telah lama dibahas dan dipertanyakan. Salah satunya oleh Friedrich Nietzsche. Ia tak tanggung-tanggung menjadi martir semasa hidupnya, entah itu untuk merobohkan bangunan nilai agama, sains, moralitas, dan juga Tuhan. Tak jarang ia digemari oleh anak-anak muda yang baru menginjak dewasa, mungkin karena ada kesamaan atau karena emang pelarian aja membaca Nietzsche.
Namun ada salah satu hal yang menarik dalam pemikirannya, mari kita kesampingkan persoalan ia digemari oleh anak-anak muda, abang-abangan yang mau menggaet dedek-dedek juniornya dengan slogan amor fati, gott is tot!, dlsb. Padahal mungkin saja mereka tak sampai tamat membaca pemikiran sang palu godam tersebut.
Adalah anggapan yang disematkan padanya oleh para kritikus, bahwa ia merupakan seorang “naturalist”. Dalam artian apapun itu. Naturalist secara epistemologis, misalnya hipotesis mesti dapat dijelaskan dan ditest hanya merujuk pada sebab dan peristiwa alamiah. Pun dalam artian metafisik (bukan gaib), yang memandang bahwa realitas tak ada yang penting selain hal-hal alamiah, kekuatan/daya, dan ragam penyebab yang menjadi studi dari ilmu alam.
Tracy B. Strong mengatakan pandangan yang disematkan padanya seperti dilontarkan oleh para kritikus tidaklah tepat. Kita bisa liat dalam aforisme (TI “World” 6), “The true world we abolished: which world was left? The apparent one perhaps? . . . But no! along with the true world we have
also abolished the apparent one.”
Dapat dikatakan secara tepat bahwa Nietzsche justru menolak keduanya, yaknii oposisi biner antara dunia “real” dan dunia “ideal.” Namun, jika ia harus disebut sebagai seorang “naturalis”, maka yang dimaksud dengan “nature” jauh berbeda dengan arti pada umumnya.
Pembedaan mengenai realitas ke dalam oposisi biner telah terjadi sepanjang sejarah filsafat. Semisal manusia/dewa, kekal/fana, tubuh/jiwa, permanan/perubahan, akal/hasrat. Dalam kondisi eksistensi di antaranya seringkali disebut memiliki sifat buruk, selalu berubah, lepas kendali dari apa yang kita harapkan bisa dilestarikan, dikendalikan, karena selalu ada misteri, dan kekuatan yang memungkinkan untuk ketidakpastian. Sementara satunya selalu merupakan bentuk kebalikan dari sebuah ketakstabilan, dan kondisi negatif. Dengan kata lain merupakan bentuk stabilitas kehidupan.
Jelas sekali Nietzsche tidak akan mungkin kita masukkan ke dalam barisan para saintifik naturalis yang memandang bahwa alam akan berada pada kondisi stabil, tetap, being. Sebab menurutnya alam lebih “liar dan gila” dari apa yang sains mungkin pikirkan; ia memuat kekuatan/daya, insting, hasrat, dan power yang tak bisa dimasukkan ke dalam reduksi kategoris saintifik, objektif. Ia dengan tegas sekali menolak romantisme naturalism/alam. Baginya, naturalisme merupakan sebentuk cara filsafat mendorong kondisi kemenjadian menjadi mungkin untuk dideskripsikan dan dinilai kembali dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk penilaian kembali budaya, bahkan yang dianggap anti-natural sekalipun.
Sejarah Naturalisme
Untuk memahami naturalisme dalam pemikiran Nietzsche perlu diawali dengan jalan memutar pada sejarah kata “nature” dan “natural.” Tak sedikit para filsuf, dan interpreter Nietzsche, mengasosiasikannya dengan ‘scientific naturalism’, secara singkat di mana pembahasan filsafat lebih baik dijelaskan dan secara konsisten dapat ditemukan dalam ilmu alam. Meskipun arti naturalism tidak sama dengan fisikalisme. Meski begitu “nature” dalam naturalisme merujuk pada berbagai entitas fisik dan daya yang dapat dipastikan benar oleh investigasi empiris.
Lawrence J. Hatab mengatakan bahwa mungkin saja kita berpikir bahwa arti dari physical nature dapat ditemukan asal usul katanya dalam kumpulan karya Yunani Kuno, yakni phusis yang seringkali diartikan sebagai alam. Namun arti kata tersebut, Phusis merupakan derivasi dari kata kerja phuō yang memiliki arti to grow, to bring forth, to give birth/ tumbuh, berkembang, dan melahirkan.
Kita bisa temukan ini dalam cerita Homer, phuō selalu diasosikan dengan tanaman kehidupan (plant life) dan menghasilkan tunas. Sementara dunia seringkali disebut phusizoos yang artinya ialah memberi kehidupan. Dari Aristotle kita bisa dapati artikulasi phusis sebagai alam. Namun ia tidak menyamakan phusis dengan hal-hal fisik; phusis termanifestasika lebih pada bentuk (form) daripada isi (matter). Contoh utama phusis bagi Aristotle ialah psuchē yang berarti juga kehidupan, termasuk jiwa manusia. Phusis juga bukanlah hal “supernatural.”
Secara sederhana ia merupakan pergerakan dan perubahan yang kontras dengan technē, artifice, atau pergerakan yang disebabkan oleh agen luar dalam produksi manusia. Baginya, menurut Hatab, phusis dalam pergerakan natural tidak mengakui keabadian ilahi; sebab nature merupakan ranah temporal yang bisa berubah dan merupakan lawan dari ketetapan, keabadian ilahi.
Dengan kata lain kita bisa melihat dua arti sekaligus. Phusis memanifestasikan pada pergerakan dan “esensi,” dan mengindikasikan proses aktualisasi secara dinamis yang dalam konsep Aristotle, yakni dunamis dan energeia. Manifestasi phusis tampil dalam keteraturan yang berulang, arti”esensialis” dari phusis mengambil bentuk dalam kontradiksi berbagai kepercayaan budaya dalam istilah nomos.
Hatab juga mengatakan bahwa Aristotle tidak meletakkan perbedaan antara nature dan culture, karena kapasitas budaya dari jiwa seperti technē and phronēsis merupakan bentuk natural bagi jiwa. Begitu juga dengan perbedaan phusis sebagai invariant aturan dan nomos sebagai varian konvensi: bagi Aristotle, alam sublunar, terutama alam manusia, dapat mengakui adanya varian/perbedaan, bahkan perkembangan yang bertentangan dengan alam sebelumnya.
Secara singkat untuk memahami nature dan natural bisa mengungkapkan dari sejumlah perbedaan yang tidak bisa direduksi ke dalam bentuk umum: natural-permanent, natural-artificial, natural-cultural, aksidental-alami, dan natural-supernatural. Karena perbedaan tersebut sebenarnya tidak ada dalam alam pikiran Yunani; ia eksis dalam alam pikiran modern, yang juga merupakan bagian dari keruwetan teologi Kristen dalam pemikiran filsafat Eropa.
Secara umum, konsespi nature yang ada dalam pemikiran filsafat modern menghasilkan dua kriteria bagi sains modern, meskipun ada perbedaan antara standar empiris dan konseptual, yang secara timbal balik masih berhubungan dalam kerja saintifik: verifikasi eksperimental dan formalisasi matematika. Descartes dan Kant keduanya menekankan bahwa ilmu alam didasarkan pada matematika. Sebenarnya ilmu pengetahuan modern adalah bentuk penolakan secara sadar terhadap “physics” Aristotelian, karena konsepsi telos dan dunia yang menghindari formalisasi dan verifikasi yang tepat.
Konsekuensinya ialah dalam sains modern, “nature” tidak lagi dipahami dalam pengertian Aristotelian sebagai penuntun fenomena yang memanifestasikan-diri untuk penyelidikan menurut bentuk/formasi, sebagai fenomena yang dibentuk kembali menurut konstruksi a priori yang tidak terbukti dalam pengalaman langsung.
Will to Power dan Perspektivisme
Kalo kita membaca Nietzsche secara cermat sebenarnya kita bisa tau atau sedikit lebih paham bahwa sebenarnya Nietzsche menolak sebentuk kepastian dari nilai apapun itu, pun saintifik naturalisme. Dalam bayang-bayang kepastian ‘sains’ yang ia tolak, menurut pembacaan saya, merupakan kepercayaan dan kepastian dari scientific naturalism yang mengambil alih bentuk penolakan terhadap teologi dan konstruksi metafisikanya. Karena bagi Nietzsche, kematian dari penyanggah nilai, ketetapan, bisa menjadi awalan yang menarik dan bukanlah keputusasaan, sebab merupakan horizon baru bagi pikiran untuk terus melampauinya dan memikirkan kembali kebenaran, makna dan nilai-nilai dalam istilah yang kita kenal sebagai ‘alamiah’.
Dari sini kita bisa melihat hubungan antara konsepsi salah satu istilah will to power dengan nature sebagai phusis dari Aristotle. Hatab melihat bahwa fisika modern melepaskan diri dari ‘adanya alam’ Aristotle yang direduksi sebegitu tepat, merujuk pada kestabilan struktur matematika dan pencarian secara langsung verifikasi empiris. Phusis dalam Aristotelian berarti dorongan dinamis untuk berkembang. Sementara dunamis bisa dipahami sebagai potensi yang luas — bukan berarti artinya hanya kemungkinan, melainkan potensi, kapasitas, dan kekuatan — maka dengan demikian will to power Nietzsche bisa dilihat dan disebut sebagai bentuk radikal dari phusis dan dunamis Aristotelian.
Bagi Nietzsche, “natural powers” tidak lagi mengitut ketentuan Aristotle, bahwa perkembangan dari sesuatu menuju aktualitas sudah tertulis dalam realitas dengan tetap dalam bentuk ketuhanan, dan ini yang mendukung prinsip metafisika utama dari Aristotle, bahwa “aktualitas adalah yang utama untuk potensialitas.” Dengan will to power, Nietzsche mengubah prinsip di sekitarnya: semua aktualisasi bentuk muncul dalam kekuatan yang tidak dapat direduksi dengan relasi-kuasa. Dengan matinya penyanggah nilai, bentuk alamiah tidak lagi bisa ditemukan dalam bentuk aktualitas ilahi “supra-dynamic”. Dan konsepsi “physics” kehendak kuasa Nietzsche merupakan nama dari dorongan dinamis yang ada bagi seluruh konsepsi actual being atau manusia, entah itu zaman kuno maupun modern.
Dalam kaitannya dengan naturalisme di atas dan juga penolakannya terhadap nilai-nilai tertentu. Naturalisme Nietzsche jelas berbeda dengan scientific naturalism. Ia justru mendiagnosis tradisi filsafat dan melampaui kritik konseptual tentang kepercayaan dan teori. Menurut Nietzsche kesalahan fundamental atau asal usul dari konstruksi atas manusia bukan berada pada kepercayaan-kepercayaan (beliefs), melainkan pada tataran psikologis bahwa ketakmampuan untuk mengakui keterbatasan manusia dalam dunia yang terbatas, keengganan terhadap kondisi negatif kehidupan, ia gambarkan sebagai dekadensi, gejala kemunduran hidup.”
Butuh dorongan psikologis yang bisa mengafirmasi kehidupan dan memikirkan kembali cara-cara yang lebih pantas terhadap kondisi natural dari menjadi. Perlu ditekankan bahwa psikologi Nietzschean tidak menguniversalkan sifat manusia, melainkan penggambaran jenis dari bentuk kelemahan dan kekuatan. Oleh karena itu keberatan terkenal Nietzsche terhadap kesetaraan manusia dan bagaimana ia mempromosikan sejenis aturan hierarki. Karena filsafatnya bertujuan untuk mengatur peringkat/ tingkatan. Hal ini juga yang menegaskannya bahwa filsafat tidak bisa “impersonal” dalam memperoleh pengetahuan. Justru kita bisa melihat ketersembunyian pengakuan personal dalam filsafat meskipun itu secara tak sengaja dilakukan oleh para pemikir.
Dalam kaitannya dengan psikologi maka pengetahuan tidak bisa didasarkan pada yang absolute, tetap, standar objektif. Melainkan harus dalam bentuk perspektif plural/ perpektivisme plural. Karena hanya ada satu perspektif untuk melihat, yakni perspektif mengetahui dalam banyak kemungkinan untuk melihat dunia, dan seseorang tidak bisa mengklaim sebagai yang paling benar. Perspektif seseorang dalam menilai kebenaran selalu melibatkan ketertarikan orang tersebut dalam suatu penilaian. Dengan ragamnya penilaian yang juga merupakan dasar daripada objektivitas maupun kepastian. Perspektivisme mengharuskan kita bertukar konotasi pengetahuan ketat dan “fakta” terhadap konsepsi yang lebih terbuka dari “interpretasi.” Sementara interpretasi merupakan “pengenalan awal makna” dan bukan “penjelasan.”
Menurut Hatab, belokan yang dilakukan Nietzsche atas psikologi merupakan gambaran revisi filsafat dirinya, yang memfokuskan terhadap pikiran yang menubuh dalam dorongan ekspresi psikologi. Pertanyaan kritis selanjutnya ketika seseorang menganut perspektivisme ialah bukan lagi “bagaimana kamu bisa membuktikan X?” melainkan secara psikologis “kenapa X begitu penting bagimu?”
Menurutnya, filsafat selalu sarat nilai dan tidak bisa direduksi ke dalam bentuk dan istilah deskriptif, objektif ataupun demostrasi logis. Karena baginya berfilsafat berarti juga membaca karyanya sendiri, proses circular dalam menulis dan pembacaan yang berasal dari dan memanfaatkan dorongan personal serta penempatan diri atas kehidupan.
Hatab juga menyebutkan salah satu implikasi metodologi naturalismenya Nietzsche ialah praduga imanensi (presumption of immanence). Kita hanya berpikir dalam kerangka bagaimana kita telah berada di tengah-tengah manifestasi kekuatan yang bukan dari pilihan kita dan bukan dari apa yang bisa dibayangkan berasal dari atau menyiratkan beberapa alam “lain” di luar dunia kehidupan. Dengan kata lain, kita menerima yang terberi dari seluruh dorongan yang bisa membuat kita jujur untuk mengenali apa-apa yang kita lakukan dalam kehidupan: akal dan insting, kebenaran dan kebohongan, keteraturan dan perselisihan, cinta dan benci, dst.
Berbeda dengan saintifik naturalism yang muncul sebagai perebutan konsepsi sebelumnya tentang alam dan pengalaman hidup. Seperti hubungan agonistic, dalam istilah Nietzschean tidak menyebabkan penolakan atau pemberhentian ilmu pengetahuan; melaikan untuk membuka deskripsi ulang karakternya dan upaya memeriksa terhadap klaim ekslusifnya atas kebenaran.
Jika naturalisme itu diasosiasikan dengan kognisi “objektif” dan disposisi, maka Nietzsche bukanlah salah satu bagiannya. Karena perspektif naturalistiknya mengkonstitusikan ketertarikan (interest) yang ada dalam kepercayaan seseorang yang berlawanan dengan “semangat/ruh objektif” yang tidak “tertarik” terhadap pengetahuan. Ruh lemah seperti semangat objektif itu tidak mampu “mengafirmasi atau menegasi” serta tak akan bisa memilih untuk “kebaikan atau keburukan.”
Perlu ditekankan bahwa perspetivisme tidak sama dengan skeptisisme. Praduga imanen tidak memungkinkan radikal skeptisisme atas keraguan dari kemungkinan semua keyakinan sekaligus di domain tertentu. Lebih jelasnya, memang skeptisisme diperbolehkan tetapi didiagnosa sebagai kelemahan bersamaan dengan objektivisme. Sementara perspektivisme memerlukan bukan hanya minat/ketertarikan, tetapi juga komitmen pada kepercayan seseoran atas yang lain. Singkatnya, naturalisme Nietzsche menilai filsafat dari segi intelektual dan kapasitas eksistensial untuk mengafirmasi kondisi yang terbatas dari kehidupan alamiah (natural life).
Referensi:
Lawrence J. Hatab, Nietzsche, Nature, and the Affirmation of Life
Tracy B. Strong. The Optics of Science, Art, and Life: How Tragedy Begins
Vanessa Lemm. Nietzsche and Becoming Life