Ong Hok Ham menulis dalam bukunya, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Hoakiauw (Hokkian) atau Huaqiao (Mandarin) 華僑artinya “Orang Tionghoa Perantauan” (Overseas Chinese). Istilah ini awalnya dipakai di Tiongkok untuk menyebut orang Tionghoa yang tinggal di negara lain, baik warganegara atau bukan.
Dialek Hokkian selatan, salahsatu bahasa daerah Cina selatan yang di masa lalu paling banyak digunakan di Jiau-oa (Jawa) Selain yg disebutkan oleh Aurelia Vizal yang dimuat di Mojok(dot)co 13 Mei, berikut menurut Ong Hok Ham beberapa kosakata serapan dari Hokkian yang biasa digunakan di Jawa:
Encim (Melayu Tionghoa): istilah kekerabatan bagi isteri adik laki-laki ayah atau encek. Dari istilah Hokkian selatan ng-cim.
Engko (Melayu Tionghoa): istilah kekerabatan bagi kakak laki-laki, abang. Dari istilah Hokkian selatan ng-ko. Engkong (Melayu Tionghoa): istilah kekerabatan bagi kakek. Dari istilah Hokkian selatan ‘ng-kong’.
Engkong bene: istilah kekerabatan untuk nenek bagi orang Madura “peranakan”.
Engkong lake : istilah kekerabatan untuk kakek bagi orang Madura “peranakan”.
Kemudian encing, babah, encim, hoki, lihai, cincai, cukong, tauke, angpao, gopek, goceng, ceban, cetiauw, kelontong dan banyak lagi lainnya. Terutama dalam kebudayaan Betawi, persilangan dengan orang Tionghoa/Cina amat erat, maka muncullah istilah Asnawi/asli Cina Betawi” untuk menyebut penduduk Tionghoa/Cina Jakarta.
Selain banyaknya bahasa yang diserap dari kelompok Hokkian, dalam kesenian juga sama halnya, antara lain: tari cokek dan gambang kromong yang merupakan perpaduan antara kesenian Tionghoa dan Betawi, juga dalam adat perkawinan Betawi serta kebiasaan bakar petasan. Begitu pula dalam seni makanan dan masakan, misalnya kata kecap, tahu, tausi, tauco, terasi, laksa, bakmi, bakso, bakpau, capcai, asinan, juhi getok, pindang bandeng.
Selama abad ke-19, khususnya di wilayah Batavia, jumlahnya sekitar 24.000–72.000, dan mayoritas merupakan orang-orang Hokkian. Barulah kemudian mereka diserap ke dalam komunitas Tionghoa Peranakan (kelahiran Hindia) seturut datangnya imigran orang Hakka dan Kanton.
Kenapa banyak serapannya dari bahasa Hokkian? Sebab mereka kebanyakan adalah pedagang dari daerah Fujian Selatan tsb yg berlayar ke Selatan. Ini kita bisa dapati dalam tulisannya W.P. Groeneveldt yang berjudul Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.
Jalur Pelayaran Orang-orang Fujian
Ada teori menarik dari alur pelayaran orang2 dari Fujian selatan, umumnya juga Tiongkok, mereka melalui dua jalur pelayaran, alur barat menelusuri Pantai Asia tenggara & Semenanjung Malaya ke Sumatra & Jawa, serta alur timur mengikuti Kepulauan Philipina dilanjutkan ke Kepulauan Maluku dan Pantai barat Kalimantan.
Namun pada abad 14–16 perniagaan interinsular ini mengalami gangguan dari perompak Jepang dan Tiongkok yang juga menggunakan perahu armada serupa sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Akibatnya kekaisaran Qing 清 melarang pelayaran niaga samudra oleh masyarakat pesisir.
Malah mereka diharuskan meninggalkan permukiman di pesisir dan berpindah ke pedalaman. Atas desakan para pedagang yang berminat berlayar ke Asia Tenggara barulah sekitar tahun 1567 pelayaran kembali diizinkan. Kemudian pada tahun 1596, pelaut Belanda pertama kali tiba di pelabuhan Banten mereka menemukan sudah tersedianya aneka barang produksi Tiongkok. Barang-barang tersebut yg ditemukan di Batavia dibawa oleh para pelaut Fujian tangguh dan ulet karena dipaksa oleh keadaan alamnya yang keras.
Mereka harus menyelengarakan perdagangan bagi kebutuhan setempat. Tanah sepanjang pesisir yang tandus mengharuskan beras didatangkan dari daerah sekitarnya, serta menjual keluar hasil industri lokal berupa keramik, tekstil, dan barang-barang dari logam.
Lohanda menyebut imigran yg ada di Indonesia(2005:58–76) sebagaian besar berasal dari Provinsi Fujian 福建 dan Goangdung 广东,. Mereka membawa ciri budaya dari daerah asal, misalnya ciri linguistic (speech-group).
Kelompok Hokkian adalah kelompok terbesar yang bermukim di Nusantara, menurut sejarahnya mereka berasal dari daerah perdagangan di Fujian 福建 selatan. Keahlian berdagang menjadikan kelompok mereka banyak yang berhasil sebagai pedagang baik kecil maupun besar. Mereka byk bermukim di daerah Indonesia Timur, Jatim, Jateng, pantai Sumatra Barat.
Kemudian kelompok Teochiu, Chaozhou 潮州, yang berasal dari sekitar kota pelabuhan Swatow, Shantou 汕头kebanyakan bermukim di luar Pulau Jawa, seperti pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Biasanya mereka bekerja sebagai buruh perkebunan karet. Beberapa dari mereka juga ada yang berhasil menjadi pedagang di daerah yang kurang pemukim suku Hokkiannya. Kelompok
Kemudian kelompok Hakka Ke-jia 客家, berasal dari pedalaman Goangdung 广东. Goangdung adalah daerah yang tandus, sehingga motivasi utama mereka untuk beremigrasi adalah segi ekonomi. Selama periode 1850–1930, mereka adalah kelompok imigran yang paling miskin. Mereka banyak bermukim di Kalimantan Barat daerah bekas pertambangan emas, Bangka Belitung daerah tambang timah, kemudian setelah Priangan terbuka diakhir abad 19, mereka juga bermukim di Batavia dan Priangan.
Lalu yang terakhir, menurut pembagian-pembagian ini adalah kelompok Kanton 广州, berasal dari Delta Sungai Mutiara Zhu-jianng San-jiao-zhou 珠江三角州 dan sungai Barat, Xijiang 西江. Kelompok ini banyak bekerja di daerah tambang timah Bangka, kemudian juga mereka datang ke Pulau Jawa bersamaan dengan dibukanya daerah Priangan oleh Hindia Belanda.
Kelompok ini datang dengan membawa modal keterampilan pertukangan dan industri karena di daerah asalnya telah berhubungan dengan bangsa Eropa serta dunia usaha di Hongkong yang merupakan daerah jajahan Inggris. Dengan demikian, mereka telah mengenal teknologi dan mesin-mesin mutakhir. Kelompok ini bermukim secara tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bangka, Kepri, Jambi, dan Sumatra Barat. Mereka banyak berusaha di bidang toko besi, alat-alat teknik, sebagai teknisi, industri, dan juga restoran (Nagtegaal, 1996).
Sumber:
Jejak Komunitas Tionghoa dan Perkembangan Kota Bandung, Sugiri Kustedja dalam Jurnal Sosioteknologi Edisi 26 Tahun 11, Agustus 2012
Ong Hok Ham, Riwayat Peranakan Tionghoa di Jawa, terbitan Komunitas Bambu
Susan B lackburn, Jakarta, Sejarah 400 Tahun, terbitan Komunitas Bambu
W.P Groeneveldt, Nusantara Dalam Catatan Tionghoa, terbitan Komunitas Bambu