"I think it's sad because I don't think many of these people know the joy of love. They know sexual pleasure – but we all know what Lacan said about sexual pleasure." Alain Badiou
Sulit untuk membayangkan jika cinta hanya disamakan dengan hubungan seksual, atau deskripsi lain seperti cinta adalah reaksi kimia otak yang menghasilkan perasaan bahagia menjadi lebih dominan. Apalagi semisal anggapan cinta bisa didapat sama seperti cara kerja transaksional—kita menginginkan yang tidak kita miliki dan coba kita cari di tempat lain, mungkin bisa kita dapati itu cinta yang dibandroll sekian-sekian—seperti ketika membutuhkan barang atau hal-hal sementara.
Barangkali ungkapan tersebut akan terasa sangat klasik bagi sebagian orang. Apalagi kita tahu bahwa teknologi telah berkembang lebih pesat dan memudahkan secara keseluruhan aktivitas manusia—dari mulai memberikan kemudahan untuk ‘memilih’ dan ingin mendapatkan pasangan seperti apa--serta penemuan mutakhir sains yang menyibak satu persatu misteri tentang alam maupun manusia hingga hal terkecil dan intim sekalipun seperti misalnya pengalaman yang bisa dijelaskan terdiri dari apa saja dan pada bagian mana saja yang bekerja ketika semisal kita merasa sedih, kesepian maupun bahagia.
Tidak jarang bagi sebagian yang menganggap bahwa dengan penemuan-penemuan terbaru sains dan perkembangan teknologi kita bisa mengesampingkan hal-hal misteri seperti pengalaman dan cinta. Tapi apakah memang demikian? Seberapa banyak para ahli yang berbicara mengenai pengalaman itu relevan dan benar ketika seseorang mengalaminya langsung? Atau berapa banyak definisi cinta dan penjelasan tentangnya seperti kiat-kiat mendapatkan cinta secara cepat dalam satu malam itu benar-benar memudahkan dan memberi penjelasan secara rinci bagi seseorang pemula yang ingin memulai dan mengalami apa itu cinta. Mungkin saja itu benar sejauh ia adalah deskripsi dari sudut pandang orang ketiga, berbeda jika menggunakan sudut pandang orang pertama yang mengalami langsung.
Satu abad yang lalu setelah Leo Tolstoy menulis surat pada Gandhi bahwa “hanya cinta satu-satunya obat untuk menyebuhkan semua kesakitan ini (kemanusiaan).” Senada dengan Tolstoy, Alain Badiou, seorang filsuf dari Prancis mengatakan bahwa cinta merupakan obat penangkal bagi kepentingan-diri (self-interest) yang merupakan ciri utama dari manusia modern. Selain itu cinta juga merupakan harapan yang padanya kita bisa menaruh lebih untuk menjembatani perbedaan antar diri sendiri dan orang lain.
Meski senada dengan Tolstoy dan Gandhi, namun ada perbedaan yang mendasar ketika Badiou mengatakan perihal tentang cinta yang bukan sebentuk cinta platonic, ataupun Martin Luther King, Jr yang merujuk kepada konsep Yunani Kuno dari ‘Agape’. Justru Badiou mengajukan bahwa cinta selalu menuntut pencarian akan kebenaran, yakni kebenaran pada hubungan antar dua orang dan bukan hanya berfokus pada salah satu. Dari situ kita akan tahu dunia yang seperti apa yang akan dialami ketika ia berangkat dari sudut pandang yang berbeda dan tak identik.
Dalam "In Praise of Love", Badiou menjelaskan lebih lanjut mengenai perbedaan antara hasrat dan cinta. Menurutnya hasrat selalu berfokus pada apa tindakan fetisisme pada objek tertentu seperti payudara, bokong, dan penis. Sementara cinta berfokus pada keberadaan yang lain dan kerapkali menggugat kedirian dan membentuk kembali diri. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa ketika seseorang menyatakan cinta maka perpindahan dari yang semula kebetulan menuju takdir itulah yang menyaratkan suatu tanggung jawab penuh bahaya dan terkadang gemetar ketika menjalaninya. Pada titik itulah cara kerja dari cinta berupaya untuk menaklukkan ketakutan atau kengerian tersebut.
Barangkali itulah kesan pertama ketika membaca kisah Luka Kematian, novelet Marguerite Duras, yang diterjemahkan oleh Lutfi Mardiansyah. Dari awal cerita kita bisa menduga kisah apa yang akan disajikan dalam novel pendek tentang pria yang ingin mengerti atau merasakan cinta dengan seorang perempuan asing. Novelet yang hanya berisi 39 halaman ini meletakkan percakapan antar dua gender dalam satu ranjang.
Tokoh pria memutuskan untuk membayar seorang perempuan asing, yang uniknya ialah bukan seorang pekerja seksual, benar-benar seorang asing. Kemudian tokoh perempuan itu mengiyakan permintaan tokoh pria karena ia telah menerima sejumlah uang. Namun bukan hanya perkara uang, sebab di sana terjadi percakapan antar dua orang asing itu untuk mencapai kesepakatan tersebut dengan alasan berikut:
“Karena begitu kau bicara kepadaku, aku tahu bahwa kau tengah menderita suatu luka kematian. Selama beberapa hari pertama aku tak bisa menemukan nama yang tepat itu. Sekarang aku telah menemukannya.” (hal, 13)
Pada awal percakapan transaksi itu berlangsung, sang pria rela untuk mengeluarkan uang lebih untuk hal-hal yang tak mungkin dilakukan si perempuan terhadapnya—ya merelakan tubuhnya sepenuhnya padamu dan mengajarinya apa-apa tentang cinta dan mencintaimu. Nantinya perempuan tersebut hanya diminta untuk menuruti permintaannya: datang untuk beberapa waktu malam, tidak berbicara, dan ia hanya diminta untuk bertelanjang.
Sesuai janjinya, perempuan tersebut selalu datang di waktu malam dan tidak berbicara sama sekali pada beberapa hari pertama dan kedua, karena ia hanya diminta untuk bertelanjang dengan maksud bisa membangkitkan apa yang ia sebut sebagai cinta. Tokoh pria itu juga tidak langsung melakukan hubungan seksual, ia hanya memandanginya selama dua hari.
Hingga pada suatu malam, tokoh perempuan itu bicara dan ingin tahu apakah kehadirannya itu membuat tokoh pria tak lagi kesepian? Namun jawaban dari tokoh pria itu tak memberi kepuasan. Justru praduganya itu yang seolah-olah menguatkan penilaiannya terhadap lelaki malang tersebut. Bahwa tokoh perempuan mengetahui sedari awal jika tokoh pria itu sedang merasakan kesepian, kekurangan dan kesendirian. Kalo kita setuju pembedaan dan rumitnya cinta, maka apa yang dialami dan diinginkan oleh tokoh pria tersebut bukanlah cinta, melainkan hasrat melakukan hubungan seksual, dan tentu saja melalui pengalaman dan kepekaan seseorang baru bisa menyadarinya.
Dalam novelet itu kita akan temukan hal lain selain ia menyamakan hasrat hubungan seksual dengan cinta itu sendiri. Sejak awal terdapat suatu gerak seolah-olah dengan ia meminta kehadiran dari tokoh perempuan dengan harap salah satu problem yang ia alami—kesendirian dan kekurangan—akan segera teratasi. Apa yang kurang dalam dirinya bukanlah seberapa banyak ia mendengar percakapan cinta adalah ini dan itu, dari mulai kisah bagaimana cinta dari sudut pandang orang susah yang tak melulu soal harta, atau bahkan bagaimana cinta menurut orang kaya yang bisa segera mewujudkan apa-apa yang diinginkan oleh pasangannya. Atau lebih jauh apakah ia merasa telah mendapatkan cinta karena ia menganggap telah menaklukkan perempuan dan mengatur apa yang boleh dilakukan perempuan bahkan di atas ranjangnya.
Tokoh pria dalam novel pendek ini benar-benar mengajak pembaca untuk memahami dan membedakan bahwa ternyata apa yang semula kita anggap sebagai kedirian yang ajeg itu ternyata rapuh di hadapan orang lain, apalagi ketika berbicara cinta di hadapan pasangan/perempuan. Dalam novelet ini pun kita akan sadari bahwa mungkin saja dari tokoh perempuan itu ternyata tokoh pria mendapatkan sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Dari hal-hal kecil pertemuan antar dua mata, percakapan sebelum melakukan hubungan seksual, dan adegan seks di atas ranjang, bahkan percakapan ngalor-ngidul setelahnya akan tampak begitu penting dan jarang menjadi perhatian yang justru menegaskan bahwa cinta tak sebatas hubungan seksual. Yang jelas, efek kehadiran tokoh perempuan terhadap tokoh pria tersebut tak akan langsung ia sadari secara langsung. Mengingat tokoh pria dalam cerita ini mengidap sesuatu penyakit yang tokoh perempuan sebut sebagai “Luka Kematian”.
Sungguh ganjil kisah tersebut, tapi itulah yang menurut pembacaan saya cukup berhasil untuk menarik perhatian dan meredefinisi konsep tentang cinta zaman kiwari. Karena cinta selalu bergerak dalam bentuk tak-sadar. Tak pernah sungguh-sungguh rasional. Ia seringkali berada dalam tegangan antara rasional dan irrasional. Melibatkan dua eksistensi, atau lebih, dan bukan hanya perkara hasrat seksual semata.
Mungkin saja ini ada faktor sosial yang melatarbelakangi Marguirete Duras selalu membawa topik seksualitas dalam karyanya. Karena jika kita melihat Gerakan hedonisme selama Mei 1968 di Paris memang betul ada gerakan pembebasan untuk gairah seksual dari penilaian moralitas--dan Duras juga merupakan novelis asal Prancis. Sementara itu, menurut Badiou dalam hal mengomentari gerakan tersebut memang betul seseorang mesti merasakan pengalaman seksual, meski demikian hal tersebut tidak menyelesaikan problem cinta. Baginya, cinta merupakan pertemuan antara dua individu berbeda dalam suatu pengalaman. Dari situ cinta bisa bermula dan tumbuh. Namun perlu ditekankan bahwa pertemuan saja tidaklah cukup, ia merupakan sebuah konstruksi bersama antara dua individu.
Hal itulah yang persis terjadi dalam kisah “Luka Kematian”. Terutama pada tokoh pria ketika ia kira sudah mendapatkan cinta dengan membayarnya, menyetubuhinya, menyuruhnya melakukan ini itu, ternyata ia tak sadar apa yang ia cari sebenarnya merupakan sebuah proses, jalinan yang hasilnya tak akan dapat ia rasakan secara langsung. Percakapan di bawah ini menguatkan dan memberi kita gambaran pada kita:
“Di sinilah aku, tepat di hadapanmu. Ayo temukanlah dirimu sendiri.” Ujar tokoh perempuan itu pada tokoh pria.
Sementara itu dalam percakapan di halaman 35 menunjukkan pada kita betapa narsistiknya tokoh pria dan tak tau apa-apa selain dirinya sendiri, sementara di luar dirinya ia tak hiraukan. Bahkan kehadiran tokoh perempuan dalam beberapa malam tak bisa ia sadari. Penegasan ini telihat ketika sang tokoh pria bertanya bagaimana tindakan mencintai bisa terjadi, bagaimana emosi untuk mencintai itu bisa terjadi (hal, 35).
Ia menjawab: “Mungkin hal itu disebabkan oleh suatu perubahan tiba-tiba di dalam logika alam semesta. Disebabkan suatu kesalahan. Tidak pernah disebabkan oleh tindakan yang dikehendaki.” Selain itu emosi untuk mencintai juga tidak berasal dari apa pun, malah seringkali disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar tanpa sebab. Ia hadir begitu saja.
Sekali lagi kita akan setuju dengan Alain Badiou bahwa cinta benar-benar tidak bisa direduksi hanya pada pertemuan pertama, melainkan sebuah konstruksi.
Bukanlah pertemuan pertama yang menimbulkan kegembiraan atau memberikan kenangan. Justru cinta di atas segalanya adalah konstruksi bersama untuk bertahan lama. Selain itu bisa juga dikatakan bahwa cinta merpakan petualangan yang menegangkan dan kita membutuhkan itu. Bahkan pertengakaran kecil yang kerap kali mengganggu jalinan cinta. Namun karena itu, sebenarnya cinta sejati adalah cinta yang keluar sebagai pemenang. Meski terkadang menyakitkan dan melalui banyak rintangan dalam perjalanannya.
Hal inilah juga yang terjadi pada tokoh pria ketika ia menyadari bahwa tokoh perempuan tidak lagi berada di kamar yang sama, di ruangan itu, di atas kasur itu. Ia takkan pernah kembali. Tokoh pria itu mungkin pernah memilikinya di ruangan itu, tapi tidak ketika kesepakatan telah berakhir. Meski demikian, mungkin dari pengalaman itulah ia bisa menyadari bahwa apa-apa yang ia telah alami begitu unik, personal dan ternyata begitu kompleks. Serta dari situ juga ia justru telah menjalin cinta dengan cara kehilangan cinta.