Rempah: Dari Cerita Hingga Penjelajahan Dunia

Pam
8 min readAug 12, 2020

--

A painting shows Vasco da Gama leaving Portugal to sail around the Cape of Good Hope in 1497. Alfredo Roque Gameiro /Wikimedia Commons

Seorang Christopher Columbus dari Genoa, berjanji kepada Raja dan Ratu Katolik, Ferdinand dan Isabella, untuk menemukan kepulauan yang bersentuhan dengan Hindia, dengan berlayar dari titik paling barat di kepulauannya. Ia meminta kapal dan segala perlengkapan untuk berlayar dan tidak hanya menjanjikan penyebaran agama Kristen, tetapi juga jaminan membawa pulang mutiara, rempah dan emas dengan jumlah yang melampaui imajinasi paling liar sekalipun. — Peter Martyr, De Orhe Novo, 1530

Dalam catatan sejarah, tepatnya dokumentasi kuno bangsa Catalunya, kabar mengenai Dunia Baru diumumkan secara resmi dii Salo del Tinell, dalam ruang perjamuan yang besar di Barri Gotic, Barcelona, pusat kota di Abad Pertengahan. Pengumuman ini dibuat, setelah Columbus baru kembali dari Amerika pada 1493. Ia merupakan pembawa pesan bahwa dunia baru telah ditemukan, juga rempah-rempah siap dibawa dari benua Amerika, tepatnya Kepulauan Karibia, yang ia anggap sebagai bagian dari Asia.

Dengan kata lain, Columbus sebenarnya pada waktu itu berada di benua Amerika, secara tidak sengaja, dan orang-orang yang ia temui bukan pula orang India, sampel pertama yang ia bawa untuk Raja Ferdinand dan Ratu Isabella pada kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan apa-apa yang ia catat secara fantastis dalam setiap tulisannya.

Pada zaman itu, bukan hanya Columbus yang berlayar guna mencari rempah-rempah, ada juga Vasco da Gama. Berbeda dengan Columbus yang gagal membawa apa yang diharapkan sebagai rempah-rempah. Pada Mei 1948, di Pantai Malabar, da Gama terkesima dengan apa yang ia lihat, bahwa Pantai Malabar adalah jantung bagi perdagangan jahe global, dan para pedagang membawa kapulaga, kayumanis, lada, dll. Dikisahkan pula oleh Leonard Y. Andaya (2019) bahwa India, tepatnya pada awal Masehi merupakan penyedia barang-barang impor maupun rempah yang luasnya begitu luas, misalnya untuk daerah Selat Malaka, Jawa Barat, Bali, dan Kepulauan Rempah (Maluku Utara).

Dari India pula, lada sebenarnya sudah dibudidayakan lebih awal ketimbang di Eropa. Kita bisa lihat itu dalam pemaparan Andaya, bahwa pada awal Masehi lada diperkanalkan di Asia Tenggara, kemudian baru pada abad ke-14 atau ke-15 barulah secara serius dibudidayakan. Menurut Andaya, alasan pendorong maraknya pembudidayaan lada adalah karena tanaman ini tidak butuh tanah yang subur, ia dapat tumbuh di bawah iklim yang panas, lembab, disertai dengan curah hujan tahunan yang mencapai 2.500 milimeter.

Hal ini yang tak didapatkan oleh Columbus ketika ia berada di Benua Amerika, selain hanya dalam imajinasinya. Bahkan sampai ajal menjemputnya ia masih yakin bahwa ia sempat nyaris mencapai surga. Memang, bukanlah Columbus namanya, kalo ia bukanlah tukang khayal, dan dari kekuatan dan imajinasi ceritanya pula ia bak seorang pewarta kebenaran.

Setelah pelayaran pertama sejak Columbus dan da Gama, orang-orang Eropa mencari peruntungan dengan harapan bahwa rempah-rempah yang akan mereka temukan bisa mengubah nasib dan memberikan keuntungan. Pertarungan berdarah antar pedagang, perampok, navigator, dan kerajaan selalu melibatkan pencarian tentang rempah-rempah.

Tidak sedikit juga yang salah mengidentifikasi, juga menipu pelanggan demi meraup untung lebih adalah hal wajar sering terjadi. Berapa ratus atau puluh kapal pada saat itu lalu-lalang, melintas dari Eropa ke Timur, termasuk Nusantara, terutama Maluku utara dan selatan, untuk mengambil rempah-rempah dan segala jenis kekayaan alam buat dibawa ke negeri asal Eropa. Tak peduli wabah malaria, kudis, dan kurangnya pengetahuan suatu tempat, akan mereka hadapi dan mengambil alih wilayah demi rempah-rempah.

Peristiwa tersebut merupakan proses yang berulang, baik itu dari abad keenam belas maupun sebelum masehi. Pasalnya rempah-rempah bukan hanya seperti yang kita saat ini bayangkan, hanya sebatas penyedap masakan, lebih daripada itu, ia melibatkan hal-hal duniawi dan surgawi. Oleh karena itu Jack Turner, penulis dari buku Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme, mengatakan bahwa cita rasa hanyalah salahsatu dari sekian banyak daya tarik rempah-rempah. Adalah hal yang lumrah bahwa rempah-rempah juga digunakan untuk memanggil Tuhan dan mengusir setan, mengawetkan tubuh yang telah meninggal, menyembuhkan penyakit dan menangkal wabah dan juga menjadi bahan untuk wewangian.

Rempah dan Mewahnya Hidangan Makanan

Harus diakui bahwa pada abad pertengahan cerita soal rempah-rempah ini bukan hanya menunjukkan ke suatu tempat yang ada di dunia. Turner bahkan menyebut bahwa informasi akurat mengenai asal-usul rempah-rempah itu merupakan rahasia bagi kalangan biasa, hanya kalangan tertentu yang tahu, belum lagi setiap cerita seringkali diimprovisasi penuh warna dan penuh hasrat. Kita bisa dapati itu juga misalnya dari cerita dewa-dewi Yunani Kuno dan Romawi.

Sangat jarang bagi orang Eropa pada saat itu yang mengetahui pasti di mana dan nama lokasi asal usul sumber rempah yang paling mahal dan langka pada zamannya. Mereka hanya diberi tahu asalnya dari “Kepulauan Rempah”, yang sebenarnya merupakan konsep yang samar alih-alih memberikan titik definitif di Nusantara: Maluku. Akan tetapi, karena ketidakjelasan lokasi dan hanya sebuah konsep yang misterius, inilah yang menurut Turner, memancing spekulasi untuk menuju ke Maluku, alih-alih mencegahnya.

Memang betul pada abad ke-16, rempah-rempah yang dicari itu hanya tumbuh di dua kepulauan kecil, sementara pada tahun 1500 belum ada peta dunia, tepatnya peta modern seperti sekarang. Bahwa titik-titik paling utara adalah tempat asal cengkih, yang kini dikenal sebagai provinsi Maluku.

Oleh karena itu Turner mengatakan bahwa rempah-rempah ini, selain sering disebut sebagai aroma rasa, ia juga merupakan simbolisasi kehidupan surgawi di tengah kebusukan dunia. Bahkan menurut tradisi kuno, ungkapan beberapa buah dari Taman Firdaus kadang jatuh ke dunia manusia. Hal ini menurut Turner, menyebut rempah-rempah tumbuh di Taman Firdaus, merupakan faktor linguistik dan penggambaran dunia Timur yang memengaruhi periode awal Kristenisasi.

Selain itu, harus diakui bahwa gagasan tentang surga merupakan konsep surganya abad pertengahan. Akan tetapi, konsep ini juga bukan berasal murni dari periode abad pertengahan. Turner menyebut bahwa konsep surga telah diwariskan secara turun-temurun dari kaum pagan yang jauh lebih tua di masa lalu.

Sementara untuk urusan rasa, kalo kita baca buku Sejarah Rempah ini, tidaklah mengejutkan kalo orang zaman dulu menggunakannya untuk penyedap rasa. Misalnya dari 11 hingga 8 SM, ketika para perwira Romawi menyantap jenis makanan ini berbeda dengan jenis santapan membosankan khas bangsa Jerman, yaitu daging dan bubur. Di Inggris satu abad sesudahnya setelah kebangkitan Yesus Kristus, para tantara di benteng Vindolanda secara rutin membumbui masakan mereka dengan lada India. Darimana ini tahu? Sebabnya pada zaman Sebelum Masehi, lalu lintas rempah-rempah menjangkau hingga ke seberang Samudra Hindia.

Memang bukan kaum Romawi yang pertama menyantap lada, tetapi merekalah yang pertama mengonsumsinya secara rutin. Adapun rempah rutin dikonsumsi secara rutin hanya oleh kalangan atas, sementara kalangan bawah jarang dikarenakan harganya yang mahal. Penyair Attic, Antiphanes, pada abad ke-4 SM, itu juga menulis puisi tentang hal tersebut, dan potongan puisinya seperti berikut “jika seorang lelaki membawa pulang sejumlah lada yang ia beli, mereka mengajukan mosi bahwa ia harus disiksa layaknya seorang mata-mata.”

Turner memberikan ruang lebih untuk deskripsi bahwa jenis rempah seperti lada pada masa Romawi, dan setelahnya merupakan selera kaum elite di Yunani. Bahkan kebiasaan pada Zaman Romawi yang menenggelamkan rasa masakan dengan berbagai penyedap yang luarbiasa kuat merupakan sebuah kultur, biasanya di meja makan orang Romawi kaya tersedia itu semua, buah, rempah, hingar bingar di atas meja demi perjamuan.

Meja makan pada Abad Pertengahan merupakan panggung paling efektif untuk memamerkan cita rasa dan liberalismenya yang tinggi, entah itu di acara public maupun semipublic seperti perjamuan makan (biaya dan keelokan sebuah hidangan melambangkan kekayaan dan kemurah hati sang tuan rumah).

Lambat laun kebiasaan foya-foya orang Romawi membawa kemundurannya sendiri. Sebabnya adalah karena rempah-rempah merupakan komoditas elite, dan sedikit yang bisa memiliki, maka sebenarnya bangsa Romawi menghamburkan begitu banyak koin mas dan perak kerajaan, sementara hanya sedikit komoditas yang bisa ditukarkan dengan rempah India, keeksotisan Timur, yang kemudian disajikan secara besar-besaran ketika menerima tamu.

Setelah Romawi melemah dan jatuh, umat Kristen juga memiliki kebiasaan dan selera hampir sama dengan orang Romawi. Meskipun mereka memiliki alasan yang lebih kuat untuk mewaspadai godaan rempah yang melemahkan, dan alasan untuk membatasi diri ini biasanya dibuatkan aturan dan dijalankan oleh gereja. Akan tetapi, rempah juga memiliki makna gandanya dan manfaat bagi orang-orang suci dan ciri kehidupan para santo, persembahan untuk ibadah, wewangian, dlsb. Di satu sisi, rempah ini seringkali membawa kepada dampak yang buruk, oleh karena itu rempah-rempah dilarang dikonsumsi, sebab aromanya yang wangi dan eksotis, cenderung digunakan bagi orang-orang berpunya, berkuasa berfoya-foya dan lupa diri.

Turner menjelaskan bahwa, misalnya bagi gereja Abad Pertengahan, aroma kesucian rempah-rempah ini bisa dianggap suci karena dipercaya bisa menangkal bau tidak sedap dari Setan. Bahkan konsep neraka di Abad Pertengahan identik denan bau busuk. Misalnya dalam konsepsi nerakanya Dante dan Parson.

Dari Mengawetkan Jasad, Hingga Terlupakan

Jauh sebelum rempah-rempah hanya ditempatkan pada bagian belakang rumah, atau berada di acara masakan televisi, k. Rempah pernah dijadikan sebagai komoditas mengawetkan tubuh orang yang telah meninggal, sesajian dalam peribadatan, dan hal magis lainnya.

Sejarah mencatat kematian Ramses II, Firaun teragung Mesir, pada 12 Juli 1224SM, bahwa di dalam lubang hidungnya dijejali biji lada. Hal ini diketahui berkat penemuan dari peneliti di Paris, tahun 1975–1976. Bukan hanya itu, Turner menyebut Kaisar Justinian, pada 565 M, seturut catatan dari Corippus, bahwa tubuhnya dibalur dengan balsam, dupa, madu, dan ratusan rempah-rempa serta salep-salep menakjubkan demi mengawetkan jasad suci untuk selama-lamanya.

Menurut Turner, pada saat itu memang daya pikat utamanya adalah karena aroma dari rempah. Maka mewangikan jasad seperti kasus di atas adalah hal lumrah dalam kebudayaan Mediterani kuno. Bahkan pada mulanya orang-orang Romawi, di zaman Kristus, menerapkan itu juga, dengan membakar habis jasad yang telah dibaluri oleh rempa-rempah.

Pada saat itu, rempah yang digunakan untuk membaluri jasad kaisar dan orang-orang penting, yang paling utama, adalah kayu manis. Alasannya dalam prosesi pemakanan aromatik menggunakan kayumanis tersebut, bagi kaum Romawi, selain melambangkan kesucian, juga berfungsi menyucikan.

Hal ini juga berlaku bagi penguburan Yesus, dan juga penganut Kristen awal. Berjalannya waktu, penggunaan rempah untuk membalsami jasad identik bagi kaum bangsawan, hingga pada abad ke-14, sebab rempah telah mulai banyak beredar maka kaum bawah mengikuti tradisi serupa.

Barangkali terdengar asing dan aneh bagi yang hidup di zaman modern. Namun pada saat itu, konsep yang menyelubungi rempah-remah bukan hanya sebagai daya pikat dan dunia lain, melainkan juga sebuah dunia yang akan dating (kematian). Praktek agama dan penggunaan rempah-rempah pada abad Pertengahan dan sebelumnya adalah lazim dan saling bertautan. Misalnya penggunaan dupa, selain pembalsaman jasad. Agama mungkin berbeda; tetapi dalam aspek maksud dan tujuannya, rempah-rempah tidak mengalami perubahan dari sejak zaman klasik.

Barulah setelah masa Pencerahan, revolusi segala aspek bidang, dan setelah masa penjelajahan membuat rempah-rempah kehilangan signifikansinya. Alasannya adalah karena rempah-rempah yang tadinya jarang ditemukan di Eropa, karena penjajahan dan banyak yang diminati maka bukanlah sebuah barang yang baru lagi. Turner menjelaskan bahwa kejadian seperti itu bukan karena hilangnya keyakinan atas rempah, melainkan karena perkembangan perdagangan rempah-rempah. Tepatnya pada awal abad ke-19, seperti yang Andaya (2019) jelaskan, bahwa perdagangan lada, jenis rempah, telah redup. Dengan kata lain, pasar sudah tidak seperti awal-awal penjelajahan ketika rempah masih jarang ditemui.

Memang betul penjelajahan dunia baru dan rempah-rempah telah berakhir, warisannya kini bersemayam dalam bumbu masakan dan juga pedalaman, persemakmuran telah melemah, daya mistisnya telah lama hilang. Tapi menurut Turner, rempah-rempah masih bertahan di kantong-kantong permukiman terpencil, dan popularitasnya tidak seperti dulu lagi. Lebih daripada itu, rempah-rempah juga telah menjadi simbol eksotisme dan kemerosotan, hal yang asing bagi orang yang hidup ataupun yang mati. Dengan kata lain segala yang meliputi cerita tentang rempah-rempah pada waktu lampau, kini telah menjadi ukiran sejarah.

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

No responses yet