Sastra, Kekerasan dan Keterpusatan

Pam
12 min readAug 20, 2019

--

Sumber gambar: http://tabloidtanjak.com/berita/2017/02/01/191/persoalan-sastra-dan-politik-tak-akan-pernah-berakhir-

Membaca tanggapan Saut Situmorang pada 23/04/2017 yang dimuat pada situs boemipoetra terhadap “catatan kebudayaan” Maman S Mahayana yang dimuat di Kompas 22/04/2017 kiranya senada dengan apa yang saya risaukan terhadap fenomena munculnya media alternatif lain atau yang disebut dengan media elektronik yang masuk ke dalam sastra cyber. Dengan kehadirannya ini menandakan bahwa bukan hanya melalui media cetaklah satu-satunya jalan untuk menerbitkan karya-karya sastra: puisi, cerpen, novel. Terlebih jika media cetak merasa bahwa lewat kertaslah sastra itu memiliki bentuk keasliannya. Merujuk pada tanggapan Saut.

  1. Kiranya sangat absurd mempermasalahkan sastra (di) internet dengan memberhalakan sastra yang ada di kertas koran dan majalah
  2. Seleksi ketat redaktur, absennya pengaruh pertemanan dalam penyeleksian, dan keseriusan berkarya itu telah lama disuarakan oleh para penentang kemunculan sastra di internet. Dan ternyata kemunculannya itu sendiri sekarang dikonsumsi.
  3. Apakah benar-benar dilakukan seleksi ketat redaktur, absennya pengaruh pertemanan dalam penyeleksian, dan keseriusan berkarya merupakan ciri khas dari media tulisan?
  4. Kalau memang benar adanya seleksi ketat redaktur, kenapa karya yang plagiat masih bisa dimuat? Apakah memang benar karya-karya yang dimuat orangnya bukan itu-itu lagi? Dan apakah karya sastra yang dimuat di koran-koran itu mutunya bagus-bagus? Kalaupun iya, apakah redaktur dari majalah atau media cetak tersebut memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai sejarah dan teori sastra sehingga bisa dipertanggungjawabkan secara krtitik sastra? Atau jangan-jangan ia hanya “dipekerjakan” saja?

Berangkat dari pernyataan di atas jelas bahwa Maman mengiyakan adanya hirarki di dalam perbincangan sastra, bahwa media tulisan itu lebih ideal saat melakukan penyeleksian ulang dan benar-benar “jernih” di dalam pengoperasian kerjanya, sehingga tidak akan cenderung memilih kepada yang sama. Atau jangan-jangan Maman menghendaki hanya melalui satu bentuk, yakni, media tulisan apabila setiap orang ingin menerbitkan karya sehingga tidak memungkinkan adanya sesuatu yang di luar pusat persetujuan tersebut?

Apabila memang benar Maman menghendaki begitu, bukankah ke-terpusat-an atau yang disebut dengan “jernih”, “murni”, “asli” tersebut bermuatan politis di dalam strukturnya?. Sebab hal tersebut mengindikasikan bahwa tulisan yang dimuat pada media cetaklah yang lebih unggul ketimbang media internet karena menurutnya lebih rendah.

Jika ingin lebih jauh lagi dan memasuki perdebatan sejarah sastra Indonesia di masa lampau mengenai mana yang lebih unggul, suatu pusat atau ke-terpusat-an, maka perlulah berangkat dari tahun 1960 dan tentunya akan lebih kompleks ketimbang mempersalahkan suatu hal yang pernah didebatkan mengenai kemunculan sastra cyber ini pada tahun 2000-an — klise, daur ulang yang itu-itu saja dan membuat geleng-geleng kepala sendiri, ujar Saut.[1]

Kekerasan dan Peminggiran

Dalam bukunya, Wijaya Herlambang “Kekerasan Budaya Pasca 1965”, Herlambang mempersilahkan pembacanya memasuki gerbang awal “pendahuluan” mengenai pandangan anti-komunisme yang telah menjadi wacana utama dalam masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru (1966–1998). Pada sebelumnya TNI AD yakni setelah peristiwa 30 September itu melakukan interpretasi sendiri tentang usaha kup yang telah dilakukan oleh PKI. Seruan dari Suharto yang dimulai sejak 2 Otober 1965 untuk membasmi, melakukan kekerasan terhadap PKI dan para pengikutnya yang mana hal ini juga berlaku terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat yang biasa dikenal sebagai Lekra.

Lekra yang mengalami kekerasan secara langsung dan struktural — pembasmian dan pelarangan atas kehadirannya — berorientasikan semangat seni untuk rakyat dan politik sebagai panglima–bahwa seorang seniman, budayawan tidak boleh sampai tertipu oleh politik karena itu selain mencipta namun juga berkenalan langsung dengan kondisi masyarakat yang nantinya dikenal sebagai gerakan Turba (Turun ke bawah) dan seni untuk rakyat itu merujuk kepada golongan apa saja yang menentang penjajahan. Maka dari itu bukan hanya bagi segelintir orang, buruh dan tani melainkan seluruh elemen masyarakat — kemerdekaan, perdamaian dan demokrasi ditetapkan sebagai syarat bagi perkembangan kebudayaan. Tiga prasyarat ini jugalah yang merupakan sifat yang universal karena penekanannya pada demokrasi dan perdamaian antara bangsa-bangsa. Hal ini ditegaskan pidato Nyoto pada Mukadimah 1959.

Sedangkan yang berpaham humanisme universal pada saat itu merupakan tandingan terhadap Lekra ini melanggeng bebas dan tidak mengalami kekerasan melainkan mereka juga yang ikut melegitimasi atas kejadian pembantaian ratusan ribu jiwa manusia, pelarangan buku-buku kiri, pengasingan penulis kiri. Pada 1963, para pendukung humanisme universal membuat pernyataan sikap kebudayaan yang anti-komunisme dan menjadikan bentuknya ke dalam Manifes Kebudayaan.

Jauh sebelum itu ialah Chairil Anwar dan Sjahrir yang merupakan dua tokoh angkatan 45 ini telah mengusung pandangannya terhadap sikap yang memilih Barat ketimbang yang dilakukan oleh Lekra. Lebih tegas dikatakan bahwa Chairil Anwar dan teman-teman sejamannya sebenarnya lebih dan telah memilih jalan Barat dan menganggap pengaruh budaya Barat yang universal itu sebagai cita-cita kemanusiaan universal, daripada berkutat pada pembangunan identitas nasionalisme bagi Indonesia muda. (Sastrowardoyo, 1997:24). Konsep humanisme universal ini juga dapat ditelusuri pada lingkaran Sjahrir. John Ledgge memberikan jelas pandangan Sjahrir setelah kepulangannya dari pengasingan di Banda Neira yang lebih cenderung sosialis-demokrat dan melakukan interpretasi Marx secara tidak ketat. Dari salah satu surat-suratnya di penjara yang telah terkumpul. Yakni mengenai sikap Sjahrir penuh dengan anggapan yang meremehkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. [2]

Kami, intelektual merasa lebih dekat dengan Eropa dan Amerika ketimbang dengan Borobudur atau Mahabrata, ataupun dengan budaya Islam yang primitif di Jawa dan Sumatra. Mana yang menjadi landasan kami,Barat ataukah dasar-dasar budaya feodal yang hingga kini masih terdapat alam masyarakat Timur kita.

***

Manifes Kebudayaan yang berpegang teguh kepada humanisme universal atau kebudayaan liberal itu lebih pro terhadap Eropasentris dan setengah-setengah memproklamirkan penentangan terhadap kolonialisme dan imperialisme malahan membuka gerbang penjajahan baru neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Semboyannya mengenai “seni untuk seni” merupakan penolakan terhadap kondisi politik, sosial yang terjadi di kehidupan sehari-hari.

Penentangan terhadap “politik sebagai panglima” seperti yang dilakukan oleh Lekra adalah sebuah usaha Manifes dalam rangka pemisahan antara politik dan seni. Namun nyatanya semangat dan penolakan terhadap Lekra dengan ideologi komunisme sendiri merupakan suatu bentuk “ketidakbebasan”, “politik” di dalam kenyataan dan bukan merupakan suatu ciri yang mengandung nilai-nilai universal bahwa semua orang boleh — hanya aku saja yang boleh dan tidak peduli kepada masyarakat luar.

Sesudah dihancurkan PKI dan Lekra oleh Angkatan Darat maka ideologi humanisme universal menjadi satu-satunya rujukan dalam membangun kebudayaan Indonesia. Kalau Angkatan Darat melakukan kekerasan secara langsung, Manifes Kebudayaan melakukannya secara tidak langsung lewat kebudayaan — setelah kekerasan fisik yang dilakukan oleh aparatur negara terhadap ideologi komunis — pelarangan karya penulis kiri dan para penulisnya yang ditahan.

Selain itu juga bahwasanya pendekatan artistik kiri atau yang biasa digunakan melalui pendekatan realisme-sosialisme tersebut dianggap murahan. Padahal tujuan utama Manifes Kebudayaan adalah untuk memperoleh ruang yang lebih longgar untuk ekspresi kesenian yang mandiri (Mohamad, 1993:14).

Dengan kata lain setelah kejatuhan Lekra, Manifes Kebudayaan dengan ideologi humanisme universal berfungsi sebagai pembuat kebijakan dan catatan bahwa dapat dibenarkan segala pernyataan yang muncul secara otomatis merupakan benar adanya. Lontaran-lontaran yang ditujukan kepada Lekra oleh pihak Manifes tidak lain adalah karena mereka menganggap bahwa kebebasan individu menjadi tereduksi ke dalam kelompok masyarakat, harus terbuka terhadap perkembangan zaman, pemikiran eropa dan langsung diterapkan di Indonesia karena beranggapan jika pemikiran terkungkung di dalam satu bentuk yang berlebihan maka dari itu ruang kreatif dan sumber dari luar harus dibuka selebar-lebarnya.

Tetapi hal ini kiranya sudah ada terlebih dahulu dan meluas cangkupannya mengenai sikap politik, demokrasi dan perjuangan yang terus-menerus secara menyeluruh yang mana permasalahannya bukan pada individu saja tapi lingkup sosial — pada Mukadimah Lekra oleh Nyoto pada 1959 sudah terangkum di sana. Seperti disinggung di atas pada tulisan ini dan juga refleksi dari Joebar Ajoeb mengenai “Politik sebagai Panglima”, yang mana semboyan ini juga menjadi sasaran empuk untuk menyerang Lekra pada zaman itu.

Pertama-tama Joebaar Ajoeb mengklarifikasi bahwa intruksi tersebut bukan suatu keharusan dalam sebuah proses kreatif penciptaan. Kebebasan individu, walau dalam semangat dan gerak kolektif tetap mendapat tempat yang layak dalam Lekra. Seperti ditegaskan dalam Mukadimah Lekra: “terdapat kebebasan dalam perkembangan kepribadian berjuta-juta rakyat”. Kedua adalah dengan pengetahuan mengenai politik yang memadai, namun dalam kerja penciptaan kreatif para anggota bebas menginterpretasikan, memakai atau tidak tuntutan tersebut dalam kerja dan karya. Ketiga karena ada ungkapan bahwa “Politik itu kotor dan seniman suci” yang mana bertujuan menjauhkan dunia politik dengan kesenian maka Lekra menentang ini. (Supartono, 2000:79).

Penstabilan Pusat

Namun kekerasan yang dilakukan pada masa lalu telah tertanam ke dalam kebudayaan — kekerasan struktural yang dilakukan melalui struktur sosial — kekerasan langsung saat masyarakat yang telah sadar dirugikan oleh struktur sosial melakukan protes, menuntut didengar dan merombak ulang sistem harus berhadapan langsung dengan aparatur negara yang hendak menstabilkan posisi dominannya — dan melalui budaya bahwa kekerasan tak langsung terjadi dikarenakan telah dianggap sebagai yang memang begitu adanya. Misalnya kerapkali acuh saat melihat eksploitasi dan tindakan represi terhadap masyarakat minoritas, mendukung segala wacana yang telah ada. Kalaupun ingin memperbaikinya perlu mendestruksi nilai-nilai lama yang bersifat eksploitatif dan represif, melakukan redefinisi ulang mengenai suatu sistem dengan melibatkan semua elemen yang tadinya terpinggirkan setelah itu semua orang boleh masuk ke dalam “pusat”.

Dalam konteks Manifes Kebudayaan sebagai satu-satunya yang memegang otoritas di dalam kebudayaan Indonesia pada saat itu. Memunculkan kekuatan simbolik sebagai sumber kekuasaan yang nantinya digunakan untuk mempengaruhi pihak lain “yang beda” menjadikan “yang sama” demi mempertahankan dominasi atau pusat kebudayaan. Sedangkan kekuatan simbolik merujuk kepada Pierre Bourdieu:

kekuatan simbolik adalah kekuatan dalam mengonstruksikan kenyataan, dan sebuah kekuatan yang cenderung membentuk sebuah urutan gnoseologi: makna dunia ini yang diartikan secara segera… yaitu “sebuah homogenitas konsep atas waktu, ruang, angka dan alasan, sesuatu yang dapat memungkinkan perbedaan intelek menapai kesepakatan”… (Herlambang, 2013: 39).

Dalam perspektif Marxis, ideologi yang diintegrasikan ke dalam proses produksi simbol, mewakili kepentingan-kepentingan khusus yang cenderung dipresentasikan sebagai kepentingan universal. Dengan demikian, dalam konteks ini ideologi menjadi inheren di dalam simbol. (Herlambang, 2013: 41). Dengan artian bahwa nilai-nilai perikemanusiaan, subjek yang merdeka, secara universal ini memainkan peranannya yang sangat ilusif dengan memanfaatkan kekuasaannya sebagai pemegang modal utama telah membentuk perbedaan-perbedaan di atas kebebasan individu ketimbang menghilangkan perbedaan-perbedaan dan membebaskan secara sosial — segitiga triadik kekerasan langsung-struktural-kebudayaan.

Hal ini tidak hanya berhenti pada tahun 1965an narasi mengenai anti-komunisme dan pendistribusian mengenai kejadian G30S lewat sastra, media dan peran ideologi liberalisme itu sendiri terus mendiami posisi dominannya tersebut dikarenakan Lekra yang sudah dilarang dan dihabisi oleh aparatur negara Orba dan peranan Manifes Kebudayaan. Maka pada tahun 1980an yang berada di dalam pusat kebudayaan adalah orang-orang sisa dari penandatanganan anti-komunis ke dalam Manifes Kebudayaan: Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad. Pada tahun 1994, pemerintah Orde Baru membredel tiga media besar: Tempo, Editor, Detik. Karena menyoroti kasus korupsi dalm transaksi pembelian kapal perang bekas dari Jerman.

Goenawan Mohamad yang pada saat itu merupakan pemimpin redaksi Tempo, mendirikan organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan menerbitkan media jurnal bawah tanah. Hal ini untuk melakukan perlawan terhadap pembredelan mengenai “kebebasan” berekspresi melalui media yang kiranya dipilihnya posisi tersebut merupakan suatu sikap karena “posisi dominannya” mulai terancam. Setelah itu hubungan Goenawan Mohamad dengan beberapa aktivis radikal yang tergabung ke dalam PRD membuat suasana menjadi cair termasuk dengan Wiji Thukul aktivis dari Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKER) dan majalah boemipoetra. Kemudian Ia sendiri menganggap bahwa AJI semakin radikal lalu memutuskan untuk membuat organisasi lain ISAI pada 1995. Sementara dengan Mochtar Lubis dan Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad telah mengambil jarak diantaranya, dengan hubungannya dengan AJI dan para aktivis radikal juga merupakan salah satu faktor ia memilih jalan tersebut.

Kiranya tindakan yang dilakukan oleh Goenawan beraliansi dengan aktivis lainnya, membuat cabang organisasi lain adalah sebuah bentuk penstabilan pusat. Yakni dengan melawan tindakan represif Orba terhadapnya yang pada saat itu sebagai pemimpin redaksi Tempo merupakan suatu pilihan dalam memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan dengan membuat cabang lain juga merupakan antisipasi jika poros kebudayaan kontemporer tidak jatuh ke dalam bentuk lain. Walaupun keterlibatannya dalam kondisi politik saat itu yang tergabung dengan massa lain PRD, bukan berarti bahwa haluan ideologi dari Goenawan berubah menjadi Marxisme dan pendekatan yang dirujuk ke dalam kebudayaan dan sastra adalah mengutamakan komitmen sosial, wong cilik, realisme-sosialisme. Begitupun sebaliknya yang dilakukan oleh JAKER dan boemipoetra yang berusaha membangkitkan kembali seni yang berbasis kerakyatan.

Goenawan Mohamad dengan anggapan bahwa jika prinsipnya yang berbeda kiranya masih tetap harus didukung karena “kebebasan universal” dan juga pada saat itu bertujuan melawan politik kebudayaan Orba. Namun setelah itu memperkenalkan ulang gagasan (neo)liberalisme melalui KUK (Komunitas Utan Kayu) dan penyebarannya melalui beberapa institusi: jurnal Kalam, Galeri Lontar, Teater Utan Kayu, Radhio 68H, Majalah Pantau dan Jaringan Islam Liberal. Kemunculan institusi di atas dimulai dari tahun 1994–2001. Sedangkan pada tahun 1997 posisi JAKER mulai melemah setelah penculikan terhadap Wiji Thukul oleh Orba yang menandakan poros kebudayaan berbasis wong cilikseperti yang terjadi pada Lekra harus memudar. Sementara KUK pun menjadi rezim kekuasaan baru di bidang kebudayaan, intelektual, dan pusat yang mesti dirujuk karena merupakan komunitas tunggal dan memiliki fasilitas lebih dari cukup untuk menimba ilmu sekaligus berseni untuk seni itu sendiri.

Meleburnya Pusat

Boemipoetra sebagai yang tersisa setelah JAKER dari puing-puing kebudayaan dan diluar sistem KUK sebagai poros dan satu-satunya yang diperkirakan terbesar pada komunitas masa sekarang — membuka harapan cerah mengenai kebudayaan dan sastra yang akan mengisi perjalanan masyarakat mengenai pertemuan terhadap perspektif baru yang kerapkali diacuhkan karena dianggap sebagai pinggiran, coretan-coretan di-dinding. Kalau benar cita-cita yang ingin dicapai oleh KUK/TUK dengan ideologi liberalisme demi mencapai kebebasan secara universal maka sudah seharusnya tidak ada sebuah hierarki antara pusat/pinggiran, seperti halnya terhadap kebudayaan dan sastra itu sendiri di dalam corak pemikiran baru atau yang lain daripada yang selama ini bertebaran dan lebih merujuk kepada permintaan pasar, sedang ramai dikalangan masyarakat.

Seperti pada bagian awal tulisan, dengan hadirnya sastra (di) internet merupakan sebuah perlawanan terhadap janji-janji terhadap pemujaan media tulisan. Melalui kritik yang selalu dilontarkan oleh Saut Situmorang dan Wowok Hesti Prabowo yang termuat ke dalam laman boemipoetra menunjukkan betapa samanya karena “semua orang boleh berkarya”, “mencipta sesuatu tanpa berlandaskan kenyataan” semisal dengan ditandai peluncuran buku di mana-mana mengenai karya-karya sastra dengan menganggap bahwa tidak perlu lagi adanya pertanggungjawaban yang dilontarkan melalui ranah perdebatan yang seharusnya — melalui kritik, teori dan pembacaan ulang yang akan menimbulkan suatu proses yang akan menunjukkan beragam interpretasi. Dengan artian bahwa tanggapan yang selama ini mengenai “mutu” “esensi” pada tiap-tiap karya sastra ataupun media tulisan yang diyakini memang sudah seharusnya “begitu” dan tidak ada faktor-faktor rujukan di luar karya dan juga yang mempengaruhi penilaian terhadap karya tersebut. Eksistensi sebuah teks sastra sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di lua teks baik dalam publikasi maupun resepsi atasnya. (boemipoetra edisi November-Desember, 2007:6)

Selain itu juga harus mengingat kembali bahwasanya teks-teks karya sastra tidak semerta-merta mengandung unsur khayalan dan tidak terikat kedalam kenyataan. Juga tidak benar bahwa sebuah teks tersebut menciptakan suatu dunia yang serba baru. Ini bahkan mustahil, karena andaikata dunia itu serba baru, itu berarti bahwa teksnya tidak dapat dimengerti. (Luxemburg, dkk, 1992). Makannya keterpusatan sekarang dengan anggapan bahwa seni atau sastra harus dibebaskan dari politik maka tidak heran jika yang dicari adalah suatu kreatif secara bentuk estetika dan tidak menganggap “pesan” di dalam karya.

Melalui penyataraan yang telah disinggung di awal tulisan mengenai bagaiamana kedudukan di media tulisan dan media internet memiliki posisi yang sama, malahan media tulisan mengalami kontradiksinya sendiri yakni keberpihakan, penyesuaian dan tentu menginginkan satu-satunya yang menampung segala jenis sastra.

Setelah itu, hal tersebut merupakan sebuah proses penyebaran dengan kemunculan penulis-penulis sastra baru tetapi disisi lain juga perlu diperhatikan jika bentuk jenis tulisan yang bermunculan pada sastra di internet ini meneruskan kebiasaan di dalam memandang bentuk dan menilai suatu karya yang hanya mengedepankan aspek bentuknya saja, estetikanya tanpa mempertimbangkan teori-teori lain ini maka perjuangan dan usaha untuk membebaskan malahan terperangkap ke dalam sistem yang lain.

Dengan meleburnya legitimasi pusat yang selama ini KUK lakukan dengan ideologi Liberalisme dalam menentukan batasan-batasan di dalam narasi “kebebasan”, sepatutnya benar-benar menyongsong perbedaan dan bukan mereduksinya. Sehingga sastra tanpa pusat sastra tercipta, karena semua yang berada dipinggiran telah masuk ke dalam pusat kebebasan. Lalu mengenai kemunculan komunitas-komunitas lain merupakan satu bentuk mandiri diluar daripada Manifes Kebudayaan dan KUK mengenai sastra itu sendiri.

Maka tidak ada yang dominan semisal bahwa sastra itu otonom, bebas nilai tetapi ia juga berbasis kerakyatan, terlibat dan cakupannya luas. Terlebih lagi maka tidak akan absen terhadap sastra yang pada mulanya mementingkan isi juga terlibat dengan persoalan-persoalan sosial-politik pada masyarakat. Ditambah lagi, pehaman baru mengenai para seniman dan pengarang Lekra akan menambah dan menumbuhkan wawasan yang sedari awal hanya bertarung pada segi formalisme atau strukturalisme.

Dengan begitu akan mengerti dan aspek-aspek apa saja yang membentuk dan keterlibatan apa saja pada batasan-batasan suatu karya. Begitupun sebaliknya yang dilakukan oleh para komunitas-komunitas baru yang tadinya di luar dari KUK. Terlebih darisitu bolehlah kita merujuk kembali petuah sebagai tandingan dari “seni untuk seni yang sikapnya apolitis” dari Saut Situmorang: “Seniman tidak perlu berpolitik, tapi berkaryalah! Seolah-olah berkarya itupun bukan sebuah sikap politik”. (boemipoetra edisi November-Desember, 2007:6)

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di media-online, Dialektis, sebagai bentuk pembacaan ulang terhadap politik-sastra serta kaitannya dengan perbandingan antara media-cetak dan media-online pada tahun 2017

Sumber:

Internet:

https://boemipoetra.wordpress.com/2017/04/23/sastra-internet-vs-sastra-koran-majalah-lagi-maman-s-mahayana/

https://kompas.id/baca/akhir-pekan/2017/04/22/sastrawan-generasi-facebook/

Buku:

Herlambang, Wijaya, Kekekrasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2013.

Legge, John, 1966, Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.

Luxemburg, Van, Dkk, Pengantar Ilmu Sastra Jakarta: PT Gramedia, 1992.

Mohamad, Goenawan, 1993, Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta, Pustaka Firdaus

Sani, Asrul, 1997, Surat-Surat Kepercayaan, Jakarta, Pustaka Jaya.

Sastrowardoyo, Soebagio, 1997, Sosok Pribadi dalam Sajak, Jakarta, Pustaka Pelajar.

Supartono, Alexander, Lekra vs Manikebu Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950–1965 Jakarta:Skripsi STF Driyarkara, 2000.

[1] Di muat pada lama boemipoetra pada tanggal 23–04–2017 untuk menanggapi tulisan Maman S Mahayana yang dimuat di kompas, 22–04–2017

[2] (Legge, John, 1966, Intellectuals and Nationalism in Indonesia: A Study of the Following Recruited by Sutan Sjahrir in Occupation Jakarta, Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project hlm. 32–33.)

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

No responses yet