Terjemahan tulisan Amy Kind dari buku “The Routledge Handbook of Philosophy of Imagination.”
Pada awal abad 21 telah kita saksikan bahwa minat filsafat kini terletak pada pembahasan imajinasi (imagination). Beberapa penelitian filsafat berada pada persimpangan antara filsafat akal (philosophy of mind), estetika (aesthetics), dan moral psikologi (moral psychology), bahkan dalam keterkaitannya itu — menyoal imajinasi — melampaui ranah etika (ethics) ke ranah epistemologi, dan dari filsafat ilmu ke filsafat matematika. … Namun secara mengejutkan, masih ada satu pertanyaan yang tidak [belum] terjawab, dari beberapa pembahasan, dari penamaan (imajinasi) itu sendiri, yakni pertanyaan ‘apa imajinasi itu?’ (what imagination is).
Dalam pembahasan buku ini (Routledge Handbooks in Philosophy of Imagination), beberapa penulis memberikan kebebasan untuk memahami imajinasi. Sebagai contoh, betapa luasnya arti dari sebuah kata tersebut, Kendall Walton melakukan survey bahwa ukuran dari ‘imajinasi’ tiap-tiap individu itu berbeda-beda berdasarkan dari pemahaman intuitifnya:
Perlukah kita sekarang mengubah apa yang telah ada di dalam benak tiap orang? Iya, jika kita bisa. Namun, saya (Walton) tidak bisa melakukanya. Beruntunglah bahwa pemahaman intuitif mengenai (intuitive understanding) apakah itu imajinasi, dipertajam melalui sebuah observasi, dan hal itu dirasa cukup untuk kita untuk menindaklanjutinya lebih jauh lagi. (Walton, 1990:19)
Dalam prakteknya, seseorang mungkin kesulitan untuk memahami, bahwa tidak ada satupun konsepsi tunggal mengenai imajinasi dalam filsafat. Beberapa filsuf meletakkan konsepsi-penting imajinasi yang berbeda dari filsuf lainnya dalam konteks filsafat. Kesulitan ini ditanggapi oleh Noel Carroll, bahwa imajinasi telah menjadi semacam “tempat rongsokan” di dalam akal, sebuah tempat yang menampung segalanya. Apabila hal itu seperti yang dikatakan oleh Carroll, tidak perlu kaget, karena pada beberapa bagian di dalam buku ini, tidak menyuguhkan pemahaman yang tuntas dan tunggal mengenai apa itu imajinasi.
Namun, ada beberapa poin yang telah disetujui secara luas dan juga beberapa pertimbangan klasifikasi (taxonomic) — walaupun belum disetujui secara universal — yang dapat membantu pengenalan dengan karya filsafat dalam imajinasi. Oleh karena itu, dalam pengenalan awal, saya mencoba untuk menguraikan beberapa poin konsensus umum untuk melacak sebaik mungkin garis-garis kesalahan (fault lines). Lalu, di bagian kedua, saya akan mendiskusikan penggunaan imajinasi, baik di dalam kehidupan sehari-hari dan di dalam teori filsafat (philosophical theorizing). Melalui pengenalan ini, saya langsung mengarahkan pada pembahasan yang ada di dalam buku ini kepada pembaca, agar nantinya pembaca dapat menemukan dan memahami permasalahannya secara lebih jauh.
1.Sifat Imajinasi (The Nature of Imagination)
Sebuah usaha menempatkan imajinasi
Saya akan memulai dengan empat dasar klaim tentang sebuah kesepakatan perihal imajinasi yang mendekati secara universal, juga telah membantu kita menempatkan imajinasi di dalam sebuah teori dari struktur pikiran manusia (cognitive architecture). Menariknya, bagaimanapun juga dari klaim-klaim tersebut telah beralih secara luas, yakni dengan membedakan imajinasi dari aspek mental-kehidupan lainnya daripada memberikan karakter positif kepada kita. Kita akan melihat bahwa lebih banyak pertimbangan mengenai yang bukan imajinasi daripada yang dimaksudkan dengan imajinasi itu sendiri.
Pertama-tama, hampir semuanya sepakat bahwa:
1. Tidak semua penggunaan kata “imajinasi” atau yang hubungannya dalam bahasa sehari-hari memiliki kesesuaian dengan penggunaan imajinasi itu sendiri.
Sebagai contoh, terkadang, kata “imajinasi” dipahami secara sederhana sebagai bentuk kepercayan yang salah (mistaken belief). Jackie, lelaki yang tidak tahu aktivitas istrinya, akan membayangkan (imagining) kerja istrinya yang hingga larut malam, atau apabila Jackie cukup pintar, ia akan membayangkan (imagining) bahwa istrinya sedang menarik perhatian lelaki lain. Tentu saja, akan tiba waktunya ketika Jackie mengetahui bahwa istrinya itu sedang bekerja keras di kantor, membereskan makalah yang berserakan dimejanya dengan layar computer yang masih menyala. Sementara itu cahaya bulan menyinari langit terlihat dari balik jendela.
Dalam kasus ini, kita pada umumnya menjelaskan imajinasi dengan arti yang sama — “Jackie membayangkan kerja istrinya yang hingga larut malam. … Kedua perbedaan di atas memungkinkan kita untuk mengatakan bahwa ada perbedaan di antara keduanya dalam permasalahan di atas. Bahwa dalam penggunaan kata “imajinasi” memiliki klaim kesepakatan (walaupun tidak secara universal), ada juga kesepakatan yang berkembang luas (walaupun tidak seara universal) bahwa teori filsafat imajinasi tidak perlu diperhitungkan dalam persoalan tersebut karena itu adalah apa yang disebut dengan “kepercayaan yang salah”, dan pada umumnya, tidak perlu menggunakan istilah ‘membayangkan’ (imagine) atau hubungannya dalam bahasa sehari-hari.
Walaupun demikian, kita telah mempertimbangkan contoh-contoh dan telah mensyaratkan bahwa kita memiliki pemahaman intuitif mana bagian dari aktivitas-aktivitas mental (mental activities) yang dapat dikategorikan sebagai bentuk imajinasi, kita belum mengatakan apapun perihal apa itu itu bentuk-bentuk dari imajinasi. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan menuju poin kedua dari kesepakatan luas tentang imajinasi:
2. Imajinasi adalah bagian jenis dari kondisi-keadaan (mental-state) purba (atau jenis kelompok), tidak dapat direduksi ke dalam jenis kondisi-keadaan (mental-state) orang lain.
(Saya di sini menggunakan istilah “state” dalam artian yang luas seperti, mental events, aktivitas, dan proses di dalam klas-klas dari kondisi-keadaan (class of mental states.) Secara khusus, imajinasi dibedakan dari persepsi (perception) dan kepercayaan (belief) dan tidak bisa direduksi ke salah satunya. Meletakkan imajinasi berjarak dari persepsi telah memberikan peran yang penting dalam tindakan yang diambil sepanjang sejarah imajinasi — dari Aristotle ke Husserl, hingga Sartre. Juga bahwa imajinasi sangat berbeda dengan memori.
Para filsuf akal, dan ilmuwan kognitif seringkali mencoba untuk memetakan kognitif arsitektur (cognitive architecture) — sebuah teori mengenai struktur dari akal-pikiran manusia — yang disebut dengan boxology — sebuah diagram kotak dan juga berbentuk panah dengan tiap-tiap kotaknya yang mengambil kapasitas kognitif atau proses yang berbeda. Sementara pada bagian yang berbentuk panah menunjukan fungsi interaksi di antara mereka (kapasitas kognitif dan proses). Kita bisa membuat klaim (2) dalam istilah boxological sebagai klaim bahwa imajinasi itu berhak memasuki kotaknya sendiri.
Sebagaimana kita akan lihat, bagaimanapun, imajinasi ialah pikiran yang berhak untuk memasuki kotaknya sendiri, maka dari itu dimungkinkan masih adanya bagian yang berbeda dari persepsi dan kepercayaan. Satu hal penting yang tampaknya memilii kesamaan ialah bahwa faktanya imajinasi merupakan bentuk dari representasi atau representational state. Bagian dari representasi di dalam filsafat dikenal dengan intensionalitas, yakni, ialah hal-hal (they are about) atau tertuju-pada (directed at) beberapa objek atau sebuah situasi kondisi bahwa dunia-aktual itu sesuai dengan pernyataan mengenai suatu kondisi dari dunia-aktual itu sendiri (state of affairs).
Saya percaya bahwa anjing yang bersin di kursi itu merupakan anjing saya; ketika saya berbalik dan melihat anjingku sedang tertidur, persepsiku juga mengatakan bahwa itu adalah anjingku. Anjingku itu ada, akan tetapi mental-states bisa juga ditujukkan kepada atau mengenai yang bukan sebuah objek. Misalnya, kamu percaya bahwa Fountain of Youth itu terletak di Florida, sikap percayanya itu merupakan sebuah intensionalitas dari kondisi-kejiwaan (mental-state), walaupun tidak ada sama sekali apa yang dinamakan dengan Fountain Youth. Pembahasan mengenai intensionalitas mengantarkan kepada klaim ketiga.
3. Imajinasi merupakan intensionalitas, yakni, memiliki konten yang dirujuk (intentional content).
Beberapa filsuf berpikir bahwa seluruh mentalitas merujuk kepada konten yang dirujuk (intentional content), dan faktanya bahwa intensionalitas ialah pokok dari kondisi kejiwaan (mental state). Tetapi, apabila ini keliru dan beberapa kondisi-kejiwaan, (mental-state) katakanlah yang memiliki keinginan besar atau perasaan senang bukanlah sebuah kondisi intensionalitas yang jelas bagian dari imajinasi.
Meskipun imajinasi menyerupai persepsi dan kepercayaan dalam hal representasi, kita harus mencatat satu hal penting yang membedakan imajinasi dengan persepsi dan kepercayaan. Persepsi dan kepercayaan secara konstitutif memiliki keterkaitan dengan kenyataan (truth). Dalam melihat sesuatu, kita seringkali terhubung atau terkait dengan fakta-fakta mengenai dunia aktual (actual-world). Demikian juga, walaupun kita dapat memiliki kepercayaan yang salah (false belief), dalam melihat sesuatu setidaknya kita berusaha untuk memiliki hubungan atau keterkaitan dengan kenyataan.
Sebaliknya, imajinasi tidak memiliki kesamaan yang inheren dengan kenyataan. Sebagaimana yang diutarakan oleh filsuf Jerman, Edmund Husserl, bahwa membayangkan/imajinasi (imagining) harus dipahami sebagai sebuah pengalaman sesuatu di dalam mode “non-aktual” atau “tidak-nyata” (irreality). Kita bisa dengan hati-hati membayangkan (image) apa yang kita ketahui sebagai yang salah; kenyataannya, hal ini seringkali menjadi bagian imajinasi. Terdapat slogan antara kepercayaan dan persepsi dan dalam hal lain, yaitu, imajinasi.
“Persepsi itu merujuk kepada dunia aktual sementara imajinasi merujuk kepada yang-mungkin” atau “imajinasi mengarahkan kepada yang fiksi sementara kepercayaan mengarahkan kepada yang benar.”
Filsuf abad ketujuhbelas asal Skotlandia, David Hume mencatat poin umum bahwa “tidak ada yang bebas” daripada daya imajinasi manusia. Oleh karena itu, kita akan menuju klaim keempat.
4. Imajinasi secara mendasar tidak dibuat-buat oleh kenyataan.
Pada klaim ini (4), imajinasi seringkali diklasifikasikan sebagai bagian dari kondisi spekulatif (speculative mental state). Oleh karena itu, imajinasi masuk ke dalam satu grup dengan kondisi spekulatif lainnya, misalnya, mengandaikan (supposing), dan memahami (conceiving). Sampai di sini, kita telah melihat 4 poin yang disepakati perihal imajinasi, kita juga telah mengurai atau menelusuri garis menteorisasikan imajinasi. Beberapa filsuf dalam hal ini saling berbeda pemahaman mengenai 3 kondisi spekulatif (imajinasi, mengandaikan, dan memahami) dalam memahami bagaimana sebenarnya ketiga kondisi spekulatif saling terhubung satu sama lain. Ada juga filsuf yang menganggap bahwa ketiga kondisi spekulatif tersebut tidak ada bedanya sama sekali (hal ini yang dilakukan oleh David Hume). Sementara yang lainnya menganggap bahwa imajinasi dimasukkan atau ke dalam subkelas dari memahami (conceiving) secara khusus (particular), filsuf yang tergabung dalam hal ini menganggap bahwa imajinasi adalah bentuk imajinatif dari memahami (as an imagistic form of conceiving) (Lihat, Chalmers 2002).
Sementara filsuf lainnya mengambil jarak yang jelas baik antara imajinasi dan memahami (Lihat, Peacocke 1985). Seringkali, yang terpenting ialah bahwa ketiga jenis kondisi ini memainkan peran penting untuk melegitimasi sebuah-bentuk kepercayaan (modal belief). Ada kesamaan penolakan mengenai hubungan antara membayangkan (imagining) dan mengandaikan (supposing). Dalam hal ini, para filsuf berdebat perihal membayangkan (imagining) dan mengandaikan (supposing) yang keduanya memiliki konsekuensi emosional/ kedekatan (affective consequences) (Lihat, Gendler 2000) dan berhubungan dengan tindakan yang berbeda-beda.
Ada juga filsuf yang menganggap bahwa pengandaian atau bentuk mengandaikan (supposing) sebagai subkelas (subclass) dari imajinasi/membayangkan (imagining); biasanya mereka juga kerapkali mengandaikan (supposing) sebagai bentuk kepercayaan (belief) seperti halnya imajinasi. (Lihat, Arcangeli 2014, yang mengatakan bahwa pengandaian (supposition) adalah bagian dari imajinasi, jika ada yang menganggap bahwa pengandaian tidak dapat dibandingkan (sui generis), ia tidak bersifat seperti halnya kepercayaan (belief).
Dalam banyak hal, penolakan yang dilakukan para filsuf antara imajinasi dan jenis kondisi spekulatif lainnya mengindikasikan batas yang jelas mengenai sifat atau kondisi alamiah dari imajinasi. Baik itu bagaiamana sebuah imajinasi memiliki keterkaitan dengan pengandaian atau memahami tergantung dari apa itu imajinasi. Secara historis, filsuf telah memberikan beberapa penilaian mengenai imajinasi (Bab I), dan perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya itu terbawa ke pembahasan yang dilakukan zaman kontemporer mengenai imajinasi (Bab II). Penolakan mengenai sifat atau kondisi alamiah dari imajinasi dapat dipahami dalam konteks klasifikasi atau taksonomi dari imajinatif.