Terjemahan tulisan Amy Kind dari buku “The Routledge Handbook of Philosophy of Imagination.”
Pada tulisan sebelumnya, (Sebuah Pengantar ke dalam Filsafat Imajinasi (I) ) kita telah melihat sekilas pemaparan mengenai Imajinasi, terdiri dari sifat Imajinasi (The nature of imagination), di antaranya yang disepakati oleh para filsuf dan pemikir lainnya, bahwa imajinasi berada atau menempatkan dirinya di dalam struktur pikiran manusi (cognitive architecture), yaitu, (1) tidak semua penggunaan kata “imajinasi” atau yang hubungannya dalam bahasa sehari-hari memiliki kesesuaian dengan penggunaan imajinasi itu sendiri, (2) imajinasi adalah bagian dari mental-state purba dari individu atau kelompok yang memiliki kekhasannya masing-masing, (3) imajinasi sebagai intensionalitas atau merupakan intensionalitas, memiliki konten yang dirujuk, dan (4) imajinasi secara mendasar tidak dibuat-buat atau dibentuk oleh dan berdasarkan kenyataan.
Oleh karena itu, dalam terjemahan lanjutan kali ini, penulis bertujuan untuk mengembangkan taksonomi dari imajinasi tersebut dan mengupayakan beberapa contoh sebagaimana yang ada di dalam tulisan asalnya.
Mengukir Imajinasi
Untuk mengembangkan sebuah taksonomi imajinasi, akan lebih berguna jika diberikan beberapa contoh imajinasi di hadapan kita. Mari kita bayangkan, dua orang lelaki, Max dan Sammy, mereka berdua sedang memainkan permainan yang memungkinkan untuk percaya.
“Coba bayangkan ada monster menakutkan dan monster itu mengejar kita,: ujar Max
“Dia seperti apa?” jawab Sammy.
Max mengerutkan wajahnya, mencoba menerka gambaran dari monster tersebut, sebelum ia menjawabnya:
“Monster tersebut tingginya 5 meter, berwarna hijau dan memiliki bintik berwarna oren; memiliki cakar yang besar dan runcing pada bagian ujungnya, juga dengan gigi yang tidak rapih.
Sammy merasa ngeri mendengar penjelasan Max, ia sedang membayangkan monster tersebut.
“Aku bakalan benar-benar kenakutan kalo dikejar monster seperti itu secara nyata,” jawab Sammy kepada sodaranya tersebut. “Ayo sembunyi di balik gunung,” tambah Sammy dengan menunjuk ke sofa yang berada di ruang tamu.
Malam berikutnya, ketika Sammy sedang tiduran di kamarnya, ia khawatir jikalau monster tersebut ada di kamar mandi sedang menunggu Sammy tertidur, sebelum akhirnya monster tersebut menyerang Sammy. Ia mencoba untuk tidak khawatir tentang monster tersebut, tapi ada daya, Sammy tidak bisa berhenti untuk mebayangkan monster tersebut.
Ilustrasi di atas merupakan contoh, yang setidaknya, memiliki 5 dimensi penting dalam membahas imajinasi yang beragam/berbeda.
· Prompts: Ketika Max mulai membayangkan, tidak tampak ada yang menyarankan atau disebabkan (prompted) oleh apapun secara khusus (particular), selanjutnya imajinasi tersebut disebabkan oleh (dan dituntun oleh) usulan dari dirinya.
· Voluntariness: Seluruh imajinasi yang dilakukan oleh Sammy disarankan atau disebabkan oleh Max, tidak semuanya dilakukan secara suka rela (voluntarily). Misalnya ketika ia membayangkan sebuah monster sedang bersembunyi dekat kamar mandi, dalam hal ini ia tidak sesuai dengan yang disarankan oleh Max. Pun dengan imajinasi lainnya yang diambil berdasarkan pilihan dari Sammy.
· Props: Bebebrapa anak agar imajinasi tepat atau benar (proper) ia melibatkan atau membutuhkan topangan (props) imajinasi tersebut pada hal apapun, seperti, mereka membayangkan sofa sebagai gunung, adapun yang tidak.
· Collaboration: Beberapa imajinasi anak itu saling mengikuti atau diteruskan dalam artian ketika mereka berdua (umumnya lebih dari satuorang) membayangkan sebuah sofa itu adalah sebuah gunung. Adapun yang tidak: bayangkan kembali ketika Sammy rebahan di kasurnya, ia membayangkan ada monster di kamar mandi.
· Form: Max mengawali imajinasinya dengan mengambil bentuk untuk mengimajinasikan sesuatu. Max membayangkan bahwa ada monster yang sedang mengejar mereka. Selanjutnya, kedua anak tersebut akan membayangkan monster tersebut.
Dimensi yang di sebutkan di atas dapat menimbulkan beragam diskusi di dalam literature apapun mengenai imajinasi, akan tetapi pada bagian dimensi terakhir (form) menjadi perhatian khusus. Bahwa sebuah usaha untuk membayangkan sebuah bentuk dari yang dibayangkan merupakan yang dilakukan oleh para filsuf dan disebut dengan persoalan (propotional) atau attitudinal imagining, keduanya berbeda dengan yang disebut sensory atau imajinasi yang magis. Oleh karena itu, mari kita diskusikan satu persatu.
Pertama, memikirkan attitudinal imagining. Ada banyak perbedaan yang dilakukan terhadap sebuah konten persoalan. Daripada membayangkan monster menakutkan tersebut sedang dikejar atau berusaha ditangkap. Seseorang mungkin akan percaya atau berhasrat dan juga berharap monster tersebut seperti yang dianggap pada umumnya. Lebih jauh dari itu, tiap-tiap tindakan dari tiap orang itu masing-masing berbeda. Filsuf cenderung membedakan ke dalam dua jenis: cognitive dan conative.
Kognitif ialah perilaku atau tindakan yang disebut dengan memikirkan atau akal terhadap dunia/ memikirkan-dunia (mind to world) yang sebenar-benarnya — dalam hal ini yang disebut dengan benar atau sukses ialah ketika konten dari tindakan tersebut sesuai dengan dunia. Sebaliknya, conative lebih kepada yang disebut dunia-yang-terpikirkan (world to mind) — dan dalam hal ini kepuasan atau kesuksesan ialah ketika dunia sesuai dengan konten atau isi dari tindakan.
Untuk memperjelas, keyakinan atau kepercayaan (belief) adalah sebuah pola pikir dari kognitif, sementara hasrat ialah pola pikir dari conative. Dari sini, attitudinal imagining lebih condong di sisi kognitif. Dalam hal ini, bagaimanapun, dunia yang relevan atau memikirkan tentang dunia ialah sebuah dunia yang bisa dipahami dan dapat dipercaya (make believe) dunia tersebut lebih bersifat fiksi (fictional) daripada dunia yang actual.
Menariknya, akhir-akhir beberapa filsuf berargumen bahwa attitudinal imagining itu bagian dari beragam conative dan adapula yang menganggapnya sebagai bagian dari beragam jenis kognitif. Misalnya, dalam membayangkan sebuah monster sedang mengejar Max dan Sammy, mereka berdua berhasrat bahwa monster tersebut akan mungkin bisa menangkap mereka berdua. Maksud dari bentuk attitudinal imagination ialah focus pertanyaan secara natural terhadap bagaimana monster tersebut yang sedang mengejarnya atau bahwa monster tersebut sesuai dengan yang dihasratkan. Demikian juga, untuk mempertimbangkan bentuk kognitif secara umum dari attitudinal imagining, fokus pertanyaan secara alami ialah bagaimana imajinasi tersebut atau bagaimana imajinasi tersebut tidak seperti kepercayaan. Sebab, dalam pembahasan filsafat akhir ini membahas pembahasan tersebut. Di sini, saya tidak bisa mencantumkan semua pembahasan tersebut, akan tetapi persamaan keduanya (attitudinal imagination dan kepercayaan) tidak mengancam klaim (2) di atas, yakni, pada umumnya imajinasi dapat dilihat sebagai bagian dari primitive mental state. Penjelasan ganda mengenai kognitif attitudinal imagining — ia nampak seperti kepercayaan dan ia juga tidak bisa direduksi menjadi kepercayaan — seringkali dimasukan atau merujuk attitudinal imagining sebagai distinct cognitive attitude.
Selanjutnya, sensory imagining, Max dan Sammy terlibat secara bersamaan ketika mereka membayangkan monster menakutkan itu, mereka menangkap monster tersebut secara metafor merujuk kepada yang disebut sebagai mata-pikiran. Meski kata “gambaran” memiliki konotasi visual, filsuf dalam konteks ini mengembangkan gambaran sebagai produk dari sensory modalities lainnya, dengan begitu ada juga yang disebut dengan gambaran pendengaran (auditory imagery) dan gambaran dari kemampuan untuk merasakan menggunakan indera penciuman (olfactory imagery), dan juga dengan gambaran visual (visual imagery)
Max dan Sammy bisa membayangkan monster tersebut mengaum sebagaimana penggamabaran atau pengimajinasian berdasarkan alam. Membayangkan monster tersebut — baik itu mengerikan atau auman yang keras — yang harus dipikirkan di sini ialah bukan hanya membayangkan ada monster dengan rupa dan auman yang demikian dan seterusnya.
Bagaimana ketika Sammy membayangkan melihat monster dan ketika membayangkan monster tersebut, ia ketakutan? Hal ini dia mengalami yang disebut oleh para filsuf sebagai pengalaman imajinasi (experiential imagining). Ketika kita terlibat dengan pengalaman imajinasi, kita mengarahkan diri kita ke dalam situasi yang sedang dibayangkan dan membayangkan pengalaman tersebut — visual, auditory, emotional, dan seterusnya — yang mungkin kita rasakan. Dalam hal ini, pengalaman imajinasi, seringkali disebut sebagai sebuah tindakan membayangkan dari dalam imajinasi itu sendiri (imagining from the inside).
Sedangkan, attitudinal imagining cenderung diekspresikan menggunakan kalimat (Sammy membayangkan monster itu sedang mengejarnya), sensory imagining (Sammy membayangkan melihat monster/ Sammy imagines seeing the monster) dan pengalaman imajinasi (experiential imagining) bahwa Sammy membayangkan melihat monster cenderung dieskpresikan menggunakan konstruksi objek secara langsung. Hanya experiental imagining, bagaimanapun, menggunakan objek langsung yang cenderung diekspresikan dengan kalimat yang menggunakan akhiran “-ing” (gerund).
Pada akhirnya, kita mungkin merujuk kedua anak lelaki tersebut berdasarkan keseluruhan imajinasi yang dilakukannya memperluas, sebuah proses sementara yang berangkat dari banyak perbedaan spesifik-imajinasi yang telah kita bahas sedikit. Proses imajinasi tersebut disebut imajinasi konstruktif (constructive imagination. Ketika kita terlibat dengan karya fiksi atau sebuah permainan dari make believe, ketika kita memikirkan eksperimen pemikiran filsafat atau fantasi perihal liburan selanjutnya — seluruh aktivitas yang cenderung memproyeksikan imajinatif berbagai segi dan bertingkat — kita melatih kapasitas dari konstruksi imajinatif.
Adapun fiilsuf lain yang menawarkan taksonomi (klasifikasi atau urutan) yang mengawali kita dalam hal mengukir imajinasi secara berbeda. Misalnya, dalam buku Recreative Minds, Gregory Currie dan Ian Ravenscroft membedakan imajinasi kreatif (creative imagination) dari imajinasi rekreatif (recreative imagination). Untuk contoh imajinasi kreatif ialah ketika seseorang mengemukakan sebuah ide yang bertentangan dengan ekspektasi dan konvensi: sebuah lompatan (leap) yang bisa menciptakan sesuatu yang bernilai dalam bidang seni, ilmu, atau pengalaman hidup. Sebaliknya, imajinasi rekreatif ialah kapasitas untuk melakukan pergantian atau mengubah perspektif, yakni, sebuah usaha untuk menempatkan diri kita di masa depan, masa lalu, atau counterfactual; melihat, memikirkan tentang dunia, dan menanggapi dunia sebagaimana yang dilihat, dipikirkan, dan ditanggapi. Ternyata, recreative imagining mengandung perbedaan-perbedaan yang telah diklasifikasikan di atas. Menurut Currie dan Ravenscroft, recreative imagining melibatkan suatu produksi yang bukan bagian dari persepsi dan kepercayaan atau pengalaman, akan tetapi di lain hal memang bagian dari persepsi, kepercayaan dan pengalaman — maka ada beberapa perbedaan seperti, X mengimajinasikan, X bisa ditempatkan sebagai persepsi, kepercayaan atau seterusnya.
Bagaimanapun, persepsi dalam hal imajinasi ialah esensi imajinatif dari imajinasi kita (mungkin juga dengan apa yang kita sebut sebagai pengalaman imajinasi), sementara yang mereka sebut sebagai imajinasi ialah attitudinal imagining.
Dengan begitu akan nampak adil bagi kebanyakan filsuf mereka akan menerima klasifikasi di atas atau mendekati. Walaupun begitu, masih banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab. Satu penolakan penting ialah yang mana dari salah satu klasifikasi di atas yang utama, jika iya, tunjukkan yang mana. Karena untuk beberapa filsuf, mereka beranggapan bahwa seluruh imajinasi dialami secara fundamental sebagai yang alami. Sebagaimana Christopher Peacocke katakana, “untuk mengimajinasikan sesuatu, sesuatu tersebut setidaknya selalu dibayangkan, dari dalam, menjaid bagian dari kesadaran,” (1985: 21). Untuk mengimajinasikan monster itu harus seolah melihat monster tersebut (atau mendengar, mencium, merasakan monster tersebut), ketika kamu mengimajinasikan bahwa monster tersebut mengejarmu, maka kamu harus benar-benar mengimajinasikan melihat monster tersebut sedang mengejarmu.
Hal ini, imajinasi yang dibayangkan barangkali berangkat dari pandangan umum, atau dari perspektif luar, menganalogikan bagaimana sebuah adegan digambarkan atau ditayangkan oleh kamera pengintai sebagai bagian dari footage. Dalam mengkritisi analisa pengalaman imajinasi tersebut, filsuf lain tidak dapat percaya begitu saja bahwa imajinasi harus atau memerlukan strutkur yang jelas berdasarkan dari pengalaman yang mengimijaniskan karena menurut filsuf yang menolak pandangan bahwa imajinasi harus berdasarkan atau bagian dari kesadaran itu mengagungkan konseptual dari pengalaman hal duniawi sebagai bagian dari seseorang yang mengimajinasikan.
Anak kecil mungkin mengimajinasikan monster tanpa konsep melihat dan mendengar monster tersebut. Analisis pengalaman mesti juga dikritisi untuk mendapatkan bahwa objek yang diimajinasikan tersebut salah, dan yang diarahkan pada imajinasi. Ketika Sammy mengimajinasikan monster, kita ingin mengatakan bahwa yang dibayangkan ialah mengenai monster, apabila analisis dari pengalaman benar, maka yang dilakukan Sammy ketika sedang mengimajinasikan dirinya melihat monster, yakni, imajinasi tersebut ialah mengenai dirinya sendiri.
Sebaliknya, beberapa filsuf mengkalim imajinasi dialami secara fundamental sebagai yang alami. Pandangan ini bisa ditemukan di dalam pemikiran Descartes:
“Jika aku mau berpikir mengenai chiliagon, walau aku tahu bahwa figure tersebut terdiri dari beribu sisi sebagaimana aku memahami segi tiga yang memiliki 3 figur bagian. Aku tidak menggunakan imajinasi yang sama ketika membayangkan beribu-ribu sisi atau melihat mereka seolah-olah mendahuluiku … Tapi mari bayangkan segi lima: Saya yakin dengan pasti figur segi lima tersebut, sebagaimana dengan figure segi tiga, tanpa bantuan imajinasi; tetapi aku juga bisa membayangkan segi lima, dengan meneliti ke lima sisi dan area mana saja yang terkena ke lima sisi tersebut. Dalam melakukan hal ini, saya sadar jika imajinasi membutuhkan usaha tak biasa dari akal yang tidak dibutuhkan untuk akal. (Descartes 1641/1986: 50–51)
Kalimat “usaha tak biasa dari akal” nampak masuk akal dan bisa dipahami sebagai bagian dari pengimajinasian. Tetapi, banyak klaim imajinasi yang berbeda dengan contoh yang digambarkan oleh Descartes, karena terlampau banyak situasi yang tidak bisa diimajinasikan. Semisal, ungkapan Neil Van Leeuwen, “Ketika saya berimajinasi, membaca Lord of the Rings, peri-peri terus hidup dalam benak saya, saya mengimajinasikan kalimat-kalimat yang ada di dalam fiksi dan saya tidak dapat mengimajinasikan menggunakan mental imagery sebab itu terlalu sulit! (2013: 222).
2, Penggunaan Imajinasi
Dari paparan di atas telah diebutkan beragam variasi dari imajinasi, kali ini, saya akan membahas perihal beberapa cara di mana imajinasi digunakan. Kenyataannya, imajinasi memainkan peranan yang cukup luas dalam keseharian kita — dari yang mulanya sekedar pura-pura (pretense) hingga jalinan (engagement) dengan fiksi, dari kreasi dan apresiasi dalam seni dan music untuk membuat orang terkesan, membuat rencana tentang masa depan, pun mempelajari tentang dunia itu sendiri. Sebagaimana akan kita tunjukkan bahwa imajinasi juga berperan dalam beberapa aktivitas fundamental filsafat, dari teorisasi moral hingga pengandaian ilmu (modal epistemology). Walaupun pembahasan yang akan dipaparkan di sini hanya sekilas saja, sebab untuk pembahasan lengkapnya ada di dalam bagian daftar isi buku ini.
Pertama-tama, kita gunakan contoh yang sama seperti di atas antara Max dan Sammy, imajinasi menempati tempat yang penting bagi dunia anak kecil setelah mereka mengikuti permainan (games of make believe). Namun, ketika salah satu dari mereka keluar atau berhenti bermain, imajinasi justru terus hidup dan anak kecil tersebut cenderung terjebak di dalam imajinasi tersebut di mana kenyataan /kehidupan sehari-harinya itu membosankan. Pun ketika kita berada dalam rapat yang membosankan atau perjalanan panjang, kita seringkali berimajinasi untuk memindahkan (transport) diri kita ke tempat yang lebih mengasyikkan. (Kegiatan berimajinasi tersebut tidak memiliki suatu nilai kebahagiaan yang ajeg, karena ada banyak jenis imajinasi yang memuat alassan moral) Kita juga seringkali menghindar/lolos dari kenyataan lewat mimpi di malam hari, mimpi tersebut nampak sangat masuk akal sehingga membuat kita berpikir bahwa mimpi tersebut harus dipahami sebagai bagian dari imajinasi.
Pelarian yang didasari oleh imajinasi seringkali kita temukan ketika kita berhubungan dengan karya seni, baik itu secara visual, musik, atau karya sastra. Sebab apresiasi atau jalinan dengan sesuatu yang memiliki nilai seni mengharuskan kita untuk terlibat di dalamnya. Mari kita bayangkan secara partikular hubungan dengan karya fiksi. Ketika kita melihat Luke Skywalker bertarung dengan Darth Vader, atau ketika kita membaca buku Harry Potter, akan tampak masuk akal dan membuat kita untuk mengimajinasikannya secara lebih jauh. Tetapi, buat saya pribadi, tidak percaya jika perang anara Luke dengan Dart Vader dilakukan di tempat ‘nyata’, pun dengan Harry Potter atau The Hobbit, kedua karya tersebut tidak lebih dari bagian karya fiksi. Saya tahu apakah Jedi Knights atau Hobbits benar-benar eksis. Maka dari itu, kita tidak bisa menyebut persinggungan saya dengan karya fiksi tersebut disebut dengan istilah kepercayaan (beliefs).
Sebaliknya, saya mungkin percaya kalau perang tersebut hanya ada di layar, pun dengan karakter yang ada hanyalah bagian dari buku. Sebab dengan emosi yang reaktif, beberapa penjelasan yang ada justru membuat saya berjarak dengan dunia fiksi. Penjelasan lebih lanjut untuk peran imajinasi di dalam jalinan kita dengan fiksi dalam karya sastra biasanya meninggalkan detail-detail penting dan tidak ditentukan oleh apapun, oleh karena itu saya serahkan kepada pembaca untuk tahap selanjutnya.
Bagaimanapun, nampaknya ada batas-batas bagi kita untuk dapat berimajinasi ketika bersentuhan dengan karya fiksi. Secara khusus, kita seringkali menolak nilai-nilai yang menyimpang (pada umumnya), seperti ketika pembaca The Turner Diaries melawan untuk mengimajinasikan kebenaran yang ada di dalam buku tersebut yang di antaranya adalah pernyataan sikap rasis dan anti-semit. Contoh seperti ini juga akan di bahas — yang disebut dengan penolakan imajinasi.
Balik lagi kepada pembahasan kita antara imajinasi dengan karya seni, music dan fiksi dalam membentuk suatu karya, kita beranjak ke bagian penting yang dimainkan oleh imajinasi, yang disebut dengan driver of creativity. Driver of creativity bukan hanya menunjukkan detail mana saja yang memungkinkan pembaca berimajinasi, ia membutuhkan kreativitas imajinatif yang dimiliki oleh pengarang dalam membuat dunia tersebut. Kreativitas mendasari jarak antara aktivitas manusia dengan seni, music, hingga ilmu. Secara historis, peran dari imajinasi di dalam kreativitas telah didiskusikan oleh Kant dan Sartre. Hingga saat ini, karya Michael Polanyi fokus dalam kreativitas ilmiah; dalam pandangan dia, pengaruh imajinasi dan intuisi begitu penting bagi penemuan ilmiah.
Bebebrapa pengarang evolusioner menggarisbawahi hubungan antara imajinasi dan kreativitas. Sementara pengarang lainnya seperti Berys Gaud dan Dustin Stokes berargumen ciri-ciri yang jelas dari imajinasi — secara partikular ialah kebebasan, kebahagiaan, keterputusan dengan tindakan — dan menunjukkan kecocokan dengan yang dihasilkan oleh kreativitas. Melalui imajinasi, kita bisa secara aman mengeksplorasi hipotesis baru, atau membuat strategi baru, tanpa harus memberikan tanggung jawab bagi implementasi aktualnya. Dalam hal ini, imajinasi juga memilliki implikasi untuk memungkinkan kita memiliki pemahaman baru tentang dunia sekitar, yakni, imajinasi memfasilitasi kita untuk belajar terus-menerus.
Penggunaan imajinasi yang kita lakukan di sini — membayangkan; memimpikan; menjalin dengan seni, musik, dan fiksi; kreativitas — semua itu disebut transenden. Dalam setiap kasusnya, imajinasi digunakan oleh kita untuk lolos dari, atau mentransendensikan, dunia keseharian kita. Sebagaimana ketika kita berbicara mengenai belajar/pembelajaran, kita mengubah imajinasi transenden ke imajinasi instruktif. Penggunaan imajinasi tersebut tidak berarti mencerabut kita keluar dunia, ia lebih kepada mengajari kita mengenai hal-hal tersebut. Pentingnya imajinasi bagi kita bukan hanya memungkinkan kita lepas atau terbebas dari dunia sekitar, lebih daripada itu ia dapat memberikan pelajaran bagi kita pada apa yang tak terpikirkan.
Peranan imajinasi ini tampak bertegangan satu dengan yang lainnya. Sebagaimana telah kita bahas di atas, imajinasi bukan hanya bersifat konstitutif, terhubung dengan kebenaran, apa yan kita imajinasikan, dan bagaimana kita berimajinasi, semua itu sepenuhnya ada pada diri kita. Semua itu memungkina kita untuk mengimajinasikan diri kita ke dalam seluruh scenario fastastik.
Tetapi bagaimana kapasitas tersebut memungkinkan kita untuk “terbang” bebas dari kenaytaan dan memungkinkan kita untuk mengambil pelajaran dari hal tersebut? Perntaan inilah yang diajukan oleh Amy Kind dan Peter Kung yang disebut dengan teka-teki-penggunaan-imajinasi. Pada akhirnya, Kind dan Kung percaya jika tensi yang tampak antara transenden imajinasi dengan instruktif bisa ditangani. Menurut pandang amereka, kunci untuk menangani teka-teki yang melibatkan beragam cara melihat pembahasan mengenai imajinasi ialah tergantung kepada subjek yang memberikan batasannya.
Secara signifikan, imajinasi dalam konteksnya ia penting itu karena memberikan edukasi yang memuat proses atau pencarian sebuah pemahaman. Misalnya, (lempung bola) ball clay berada pada empat planet — di sini kita membutuhkan imajinasi. Konteks inipun berlaku untuk memahami matematika, geometrid dan filsafat.
Dari pemaparan di atas, walaupun tidak ada hubungan penting antara imajinasi dengan kebenaran (truth), namun ada garis penting antar imajinasi dan kemungkinan, yakni, seringkali imajinasi digunakan untuk menuntun ke-yang-mungkin atau ke-yang-tak-mungkin epistemology. Sejak Plato mengajukan Ring of Gyges, filsuf telah mempercayakan pemikirannya terhadap objek ataupun pandangan dari lawannya dan juga kepada diri mereka sendiri. Apabila kemampuan imajinasi dari sebuah pikiran menunjukkan skenario tersebut, maka kita menolak kemungkinan dari para filsuf tersebut.
Akan tetapi, instruksi yang diberikan di atas ternyata melampaui domain akademik. Ketika saya mencoba memutuskan warna hijau atau coklat untuk tirai/gorden yang akan dipakai di rumah, atau ketika saya menentukan apakah meja yang baru saya beli itu mesti dibongkar terlebih dahulu agar muat ditempatkan di ruang kerja pribadi, secara alami pada saat itu saya menggunakan imajinasi sebelum membeli/melakukan tindakan tersebut. Adapun imajinasi sangat berguna ketika saya mencoba untuk memikirkan apakah mungkin utuk mendaki sebuah cabang dari pohon ke pohon berikutnya, ketika saya bereaksi kemudian itu merupakan serangkaian partikuler dari suatu tindakan.
Pada umumnya kemampuan dari imajinasi sangat dibutuhkan bagi kita dalam membuat rencana di masa depan dan menentukan pilihan rasional. Selain itu, bukan hanya manusia yang menggunakan imajinasi, karena beberapa fakta yang ditemukan, gagak dan simpanse menggunakan imajinasi dalam memutuskan berbagai permasalahan.
Aspek penting dari kapasitas pembelajaran yang kita miliki via imajinasi ialah kemampuan untuk memprediksi dan menjelaskan tingkah laku (behavior) dari orang lain, apa yang dilakukan oleh filsuf dan para ilmuwan kognitif disebut dengan membaca pikiran (mind reading). Sebagaimana kita menentukan bagaimana sebuah dunia, kita seringkali menginterpretasi semua yang ada di sekitar kita — baik itu cara untuk memahami gerak atau tanda dari teman kita ketika sedang marah atau ketika ia bahagia, atau ketika menebak atau memprediksi pasangan kita tidak akan melamar terlebih dahulu, pun ketika kita mencoba untuk memperbaiki suasana ketika ada masalah dengan pasangan.
Berdasakan dari salah satu hal-hal yang mempengaruhi, proyeksi imajinatif menggarisbawahi kemampuan untuk membaca pikiran tersebut. Saya membayangkan bahwa saya adalah teman saya, pun dengan kemampuan membayangkan apa yang ia pikirkan, rasakan, akan dilakukan. Kapasitas untuk memproyeksikan imajinasi ini sama antara satu dengan lainnya dan memungkinkan imajinasi memainkan peranan penting dalam memutuskan suatu tindakan bermoral.
Kita telah melihat luasnya dan menyusun penggunaan imajinasi yang biasa digunakan dalam kehidupan seahri-hari — baik itu transenden dan caranya yang instruktif — hal tersebut tidak lagi mengejutkan karena sebagaimana disebut di atas merupakan kapasitas bagi makhluk hidup dalam memberikan makna dan berguna bagi dirinya dan sekitar. Untuk pengembangan kemampuan imajinasi, Martha Nussbaum menulis “agar bisa merasakan (sense), membayangkan (to imagine), berpikir (think), dan mempunyai akal (reason) — hal-hal tersebut merupakan cara untuk menjadi sebenar-benarnya manusia dan merupakan pokok bagi kebaikan manusia. Dalam hal ini, imajinasi tidak hanya memuat dimensi estetika dan epistemologi seperti di atas, tetapi dimensi politik.