Slavoj Žižek dan Kritik Terhadap Ideologi Liberalisme, Kapitalisme
SEJAK runtuhnya ideologi komunisme pada akhir abad 20, setidaknya menurut Ellen Meiksin Wood dalam Democracy Against Capitalism Renewing Historical Materialism, merupakan fenomena krisis dalam tubuh Marxisme. Keruntuhan Uni Soviet, sebagai salah satu representasi dari komunisme, merupakan berita yang menggembirakan bagi para penganut sistem kapitalisme dan liberalisme sebagai ideologi yang menempati puncak kejayaannya sampai saat ini.
Kendati demikian, sistem ekonomi-politik dan ideologi dari kapitalisme-liberalisme bukan berarti luput dari kritik berbagai arah. Justru fenomena kemunduran gerakan Marxisme saat ini memunculkan, tepatnya bermunculan, sedikit harapan bahwa kritik atas anggapan sistem kapitalisme adalah satu-satunya sistem yang ideal dan mungkin, justru datang dari kelokalan, kebudayaan popular, studi budaya, diskursus, teks, dan kebudayaan identitas.
Salah satu fenomena lainnya dalam menanggapi sistem kapitalisme-liberalisme, adalah bermunculan gerakan populisme, yang menurut Ernesto Laclau dalam On Populist Reason, sebagai kategori analisis politik yang biasanya bertujuan untuk mencapai hal yang signifikan secara politis dan ideologis, serta kerap kali tidak ingin dilabeli dari bagian gerakan kiri/kanan.
Meiksin Wood mengingatkan bahwa dalam tradisi intelektual Kiri, kaitannya dengan kritik terhadap kapitalisme global, mereka telah mengalami beragam bentuk, di samping itu masih meyakini hal-hal yang universal mengenai kapitalisme, dengan cara-cara baru secara taktis, memanfaatkan sedikit celah dari gerakan-gerakan yang ada saat ini.
Wood menegaskan bahwa mereka yang tergabung ke dalam tradisi intelektual Kiri ini tidak melupakan sejarah pembentukan kapitalisme melalui kritik ekonomi politik, yang secara serampangan selalu dianggap sebagai yang-alamiah setidaknya oleh kelas borjuis dan masyarakat umum. Perlu dicatat bahwa anggapan yang-alamiah ini memunculkan apa yang disebut sebagai ‘ideologi’ atau bermuatan ‘ideologis’ di dalam kerja-kerja sistem kapitalisme global.
Kritik terhadap kapitalisme global memang diperlukan upaya adaptif terhadap sebuah sistem-ideologi yang selalu bisa memperbaharui dirinya. Orang-orang seperti Bill Gates yang bertanya “Apa gunanya punya komputer, jika masih ada orang yang tidak memiliki makanan dan banyak yang mati karena disentri?” Dalam hal ini, ada perubahan etika yang dilakukan oleh para philanthropist, mereka yakin bahwa dengan menggeser etika yang awalnya tidak mempedulikan orang-orang miskin — dalam sistem kapitalisme — mati kelaparan atau karena penyakit di luar pandangannya, kini menjadi seorang yang bijaksana dengan mempedulikannya.
Sederhananya dengan mereka membagi sedikit saja kekayaan yang dimilikinya untuk beragam fenomena kesulitan mendapat air bersih, makanan, kesehatan, jaminan masa depan di Negara-negara Afrika, Asia atau Amerika Latin, pada saat itu juga para filantropis ini mengambil kesempatan dari krisis yang melanda Negara-negara tersebut demi mendapat profit ke kantong mereka masing-masing.
Dalam fenomena keseharian yang tidak asing seperti contoh di atas, kerap bisa kita temukan anggapan bahwa sistem-ideologi yang ada saat ini itu memang sudah terberi sedemikian rupa, tidak jarang juga kita terjatuh dalam kerja-kerja ideologis, salah satunya seperti para filantropis, untuk membenarkan hal yang ditutupi dalam sengkarut tanda-tanda sistem kapitalisme global. Oleh karena itu, untuk memahami kerja-kerja ideologis, kita bisa memulainya dengan pendekatan studi budaya, ilmu sosial, budaya popular, dan lainnya. Menurut penulis, melalui pemikiran Slavoj Žižek, filsuf yang Vice menyebutnya sebagai pemikir Marxis paling berbahaya abad ini, kita bisa berpikir ulang dan mengevaluasi bagaimana sebuah ideologi itu bekerja di dalam sistem kapitalisme global saat ini.
Kritik Žižek Atas Ideologi
Slavoj Žižek merupakan seorang Marxis yang percaya kebenaran kritik Marx terhadap kapitalisme yang akan membawa bentuk alternative lain dari sebuah sistem menuju ke arah lebih baik dalam mengorganisasikan masyarakat. Dalam The Sublime Object of Ideology, Žižek mengajak kita untuk kembali ke formula Marx tentang ideologI: ‘mereka tidak mengetahuinya, tetapi mereka melakukannya’. Sementara itu menurut Tony Myers, Žižek menganggap dalam tradisi Marxis ada banyak definisi perihal ‘ideologi’. Selanjutnya Žižek bertanya, di manakah sebenarnya, dalam realitas, letak dari ilusi yang dihasilkan ideologi itu, apakah di bagian ‘mengetahui’ ataukah dalam sebuah aktivitas ‘melakukan’?
Dalam tradisi Marxisme klasik, sesuatu muatan ideologis bekerja itu terketak di mana ‘orang tidak mengetahui apa yang ia lakukan’, yang artinya gambaran atas realitas sosial yang ia dapatkan itu salah, palsu, terdistorsi. Pertanyaannya kemudian, masih berlakukah pemahaman mengenai ideologi, dalam Marxisme klasik, itu saat ini? Žižek menjawabnya, dengan meminjam pemikiran dari Peter Sloterdijk bahwa saat ini sangatlah tidak mungkin, lebih tepatnya dalam sebuah kondisi sinis (cynical). Sebabnya adalah seorang sinis begitu paham jarak antara realitas sosial dengan selubung ideologis, akan tetapi, subjek tersebut lebih memilih tetap berada di dalam selubung ideologis.
“Cynicism is the answer of the ruling culture to this kynical subversion:it recognizes, it takes into account, the particular interest behind the ideological universality, the distance between the ideological mask and the reality, but it still finds reasons to retain the mask.” (hal, 26: 2009)
Dengan kata lain, kritik ideologi klasik tidak lagi cukup tepat dalam era sinisme saat ini. Sebab mereka ini, dalam melihat, memahami, realitas sosial itu sadar mengetahui, misalnya bahwa krisis ekologi sedang berlangsung, kemudian eksploitasi alam terus dilakukan misalnya di Indonesia untuk membangun ibu kota baru, penebangan pohon untuk sector ekonomi, pemberiaan izin membuat tempat pariwisata di kawasan yang kurang kajian para ahli di antaranya kebumiaan, ahli lingkungan, pembuatan jalan tol di Jawa, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, banjir di beberapa wilayah Indonesia terjadi di bulan Januari — Maret 2020. Lalu gerakan selamatkan bumi, laut, lingkungan dan berbagai varian lainnya mengemuka.
Menariknya karena hal tersebut merupakan isu yang universal, maka dimungkinkan pula langkah-langkah tersebut menyentuh kontradiksinya, misalnya produksi ramah lingkungan mudah didapat, setiap orang bisa membayar sekian uang yang dimilikinya kepada lembaga-lembaga sosial dengan tanpa perlu memikirkan kembali ke mana uang yang kita sumbangkan, apakah benar dialokasikan ke tempat yang sesuai ataukah justru ke salah tempat. Dari sudut pandang Marx dan Žižek, saat ini telah mencapai titik di mana aktivitas sosial, realitas sosial disebabkan oleh ilusi akan fetisinisme-komoditas, seolah-olah natural.
Lebih jauh daripada itu, Žižek memberikan contoh yang menarik, selain “kebaikan para filantropis” dan tiap-tiap individu menjadi subjek sadar akan krisis yang sedang terjadi, bagaimana sistem kapitalisme global dalam kaitannya dengan subjek sinisme yang realitasnya dibentuk oleh ilusi. Mari kita bayangkan, pertemuan politikus atau akamedisi dalam sebuah konferensi, di sana mereka menyuarakan pikirannya tentang bencana alam, penyakit, tuna wisma di kota-kota besar, tetapi mereka tidak mengetahui apa masalah sebenarnya dari fenomena tersebut, dengan memasukkan kebijakan-kebijakan formal adalah cara untuk menangani itu semua. Bagaimanapun, kesulitan ini, hanyalah sebuah tanda dari banyaknya kesulitan yang jauh kelihatan dari permukaan dan merupakan sebuah fakta bahwa manusia modern tidak lagi mampu memiliki tempat yang layak huni, ia terasing dari dunianya. Meskipun kita buat bangunan yang baru untuk para tuna wisma, penderitaan yang sesungguhnya mungkin saja lebih buruk lagi. (Hal, 10–11: 2012)
Begitu juga kerja-kerja ideologis lainnya, misalnya ketika kita membeli Starbucks, atau membeli sepatu Compass, disadari atau tidak, kita diberitahu bahwa kita bukan hanya membeli kopi atau sepatunya saja. Justru dengan itu, kita telah membeli kampanye dari dua contoh di atas. Tiap-tiap uang yang kita habiskan untuk mendapatkan kedua produk tersebut, maka membantu petani kopi, buruh sepatu untuk mendapatkan uang untuk makan dan tentu saja agar mereka tetap bisa bekerja dan kita bisa menikmati hasilnya.
Bukan hanya itu, dengan uang yang didapat, perusahaan tersebut bisa memberikan kenyamanan yang maksimal dari tempat duduk, lagu yang nyaman, sepatu yang empuk, motif dan bentuk yang sesuai dengan masanya, serta bisa memajukan dan bangga dengan industri lokal dan perusahaan kopi yang peduli akan rantai panjang produksi, sehingga kita bisa menikmati semua fasilitas tersebut tanpa merasa bersalah, sebab telah menyumbangkan uang kita ke tempat yang benar. (Hal, 53: 2009, First As Tragedy, Then As Farce)
Lebih lanjut dalam pengantar Mapping Ideology, Žižek melihat ke belakang, tepatnya ketika bentuk organisasi sosial pada abad 20 antara fasisme dan komunisme hadir sebagai upaya bentuk alternative lain dari system kapitalisme-liberalisme. Berkebalikan dengan kondisi saat ini yang tidak memiliki imajinasi sebuah sistem tatanan social atas kapitalisme. Žižek menegaskan adalah lebih mudah membayangkan akhir dari dunia, ketimbang akhir dari sebuah modus produksi (kapitalisme), yang seolah-olah paling ‘nyata’ meskipun kondisi global mengalami bencana.
“Ideology can designate anything from a contemplative attitude that misrecognizes its dependence on social reality to an action-orientated set of beliefs, from the indispensable medium in which individuals live out their relations to a social structure to false ideas which legitimate a dominant political power.” (Hal, 3: 2012)
Dalam keseharian, sistem relasi sosial, segalanya tiada yang ideologis, realitas sosial tidak dapat menghindar dari ideologi. Bahkan dalam mekanisme ekonomi dan regulasi hukum, Žižek menyebutnya extra-ideological, itu merupakan hasil dari ideologi, kerja-kerja yang melibatkan tanggung jawab subjek dalam menentukan sebuah kejahatan atau produk hukum untuk dirumuskan ke dalam ruang sosial. Dengan kata lain, ideologi itu bisa melalui doktrin yang terartikulasi alamiah antara manusia, masyarakat, dan alam raya. Kemudian dalam bentuk materialnya, institusi, ritual, pengejawantahannya, serta jejaring implisit, seolah-olah spontan dilakukan seperti ekonomi, politik, seksual. Keduanya saling berkelindan untuk membentuk suatu hal yang ‘real’, ‘kehidupan sosial saat ini yang dihantui’.
Oleh karena ideologi itu sangat cair, subjek kontemporer sadar akan hal itu, terdiri dari beragam representasi yang membentuk subjektivitas, bersamaan dengan praktik keseharian masyarakat dan mengkondisikan ketaksadaran libidinal seorang subjek dalam komunitas politik. Struktur yang dihasilkan dari libidal ini adalah fantasi sosial dan jouissance atau enjoyment. Jouissance bisa diidentifikasi sebagai daya eksistensial yang tidak hanya menghidupkan subjek, tetapi juga mengancam, menghancurkan subjek.
Fantasi Sebagai ‘Pembentuk’ Ideologi
Lantas apa yang luput dan tetap efektifnya beragam bentuk kenikmatan yang sering kita temui misalnya kita tahu bahwa dalam demokrasi itu dimungkinkan untuk korup, semua orang bebas menyampaikan pendapat, memilih pemimpin yang sedikit jahat adalah lebih baik daripada yang paling jahat, tapi kita masih saja berada di dalam tatanan simbolik, fetisisme komoditas, dlsb. Hal inilah yang disadari oleh Žižek, terutama melalui pisau bedah psikoanalisa, permasalahannya itu menyublim, ibarat tubuh di dalam tubuh, pre-phallic, objek anal yang kita terima dan mengikuti sebuah tatanan simbolik, otoritas. Kesadaran inilah yang tak disadari dan Žižek menyebutnya sebagai sebentuk pemikiran yang status ontologisnya bukan merupakan pikiran itu sendiri (hal, 10: 2009) yang kerapkali salah menyadari bentuk yang telah ada pada tatanan masyarakat, tentu saja menubuh, dimistifikasi, dan mengarah ke celah kesadaran untuk dipraktikkan dan diserap ke dalam pikiran.
Bahkan hal-hal yang paling kita percaya, bentuk kebaikan, kasih sayang, penderitaan, canda tawa itu terejawantah dalam keseharian: kepercayaan yang mendukung fantasi yang mengatur realitas sosial. Sebagian dari kita percaya bahwa apabila hal-hal yang membawa dampak positif di suatu negara, ekonomi maju, orang kaya bertambah, itu dikarenakan berfungsinya kapitalisme dan pasar bebas, sementara apa-apa yang buruk, ekonomi mandeg, negara totaliter, maka itu dikarenakan suatu negara menganut sistem sosialisme-komunisme. Maka tidak aneh, kita akan mendukung, kalo perlu menjilat, sebuah pemerintahan yang meskipun buruk dalam soal birokrasi, mengentaskan kemiskinan, memberikan jaminan kesehatan, lowongan pekerjaan, selama banyak orang yang mendukungnya, sebab itulah kehendak banyak orang, kita harus mempercayainya.
Dengan demikian, kepercayaan ini, Žižek menyebutnya berada pada ‘luar’ diri, apabila ada yang luput maka kita tidak boleh percaya, malahan cenderung mengganggu kepercayaan dan realitas sosial. Lacan menyebut hal ini adalah bentuk penipuan dari manusia terhadap Yang-Lain sebagai usaha merengkuh kebenaran itu sendiri. Untuk memahami apa yang ia maksud, Žižek mengawali titik mula berdasarkan novel Kafka, berjudul The Trial, di mana identitas subjek dalam novel tersebut diinterpelasikan, sebuah proses atas pertemuan nilai budaya dan kemudian kita internalisasikan ke dalam diri, oleh entitas misterius birokrasi (Hukum, dan Kastil). Akan tetapi dalam proses interpelasi ini, Žižek curiga, bahwa subjek dalam novel merupakan subjek yang putus asa untuk mengidentifikasi, subjek yang tidak memahami maksud dari panggilan yang-Lain (the Other). Dimensi inilah yang kita dapati dalam definisi interpelasi Althusser:
before being caught in the identification, in the symbolic recognition/misrecognition, the subject is trapped by the Other through a paradoxical object-cause of desire in the midst of it, through this secret supposed to be hidden in the Other — the Lacanian formula of fantasy. (hal 43: 2009)
Apa artinya bahwa fantasi-ideologis membentuk realitas? Pada titik ini, kita berangkat menggunakan pemikiran Jacques Lacan. Tesis utamanya adalah dalam oposisi antara mimpi dan kenyataan (realitas), fantasi berada di sisi kenyataan. Bahwa fantasi merupakan pendukung konsisten terhadap apa yang kita sebut dengan kenyataan. Dalam kaitan dengan konsepsi ideologi, dan tatanan sosial, realitas, kenyataan, di mana kondisi saat ini terbiasa menerima struktur yang ada dan di sisi lain meminta untuk melakukan perubahan, melakukan sebuah tindakan segera mungkin Harus disadari bahwa pemahaman atas ideologi kontemporer tidak lagi bersandar pada sekadar pandangan utopia dengan apa-apa yang hendak dicapai bentuknya dalam realitas sosial sebagaimana abad 20.
Di sinilah letak dari fantasi yang melekat pada ideologi atas realitas. Umumnya fantasi merupakan bagian terpisah dari realitas, kontruksi fiksi dan bertentangan dengan realitas. Namun, realitas itu sendiri, menurut Žižek yang kerap menggunakan pendekatan psikoanalisis Lacan dan Marxisme, bermasalah dalam psikoanalisis yang diasumsikan memiliki perbedaan otentik dengan pengalaman yang tidak dimediasi oleh pengalaman subjek. Sebab realitas dipahami sebagai cara melihat yang telah dipengaruhi oleh hasrat subjek, maka realitas merupakan proses subjektif yang dimediasi oleh Hasrat dan dikonstruksikan secara diskursus.
Dalam perspektif Lacan realitas adalah fantasi, tapi bukan dalam arti bahwa kita melakukan aktivitas sehari-hari itu tidak pernah ada dan kita hanya bermimpi sepanjang hari. Lacan menolak itu, sebab satu-satunya hal yang bisa mendekati inti dari Yang-Riil ialah mimpi. Ketika kita terbangun setelah mimpi jatuh dari ketinggian, ditabrak mobil, dikejar hewan buas, seringkali kita berucap ‘beruntung, itu hanyalah mimpi’. Justru hanya mimpilah yang melalui fantasi menentukan aktivitas tindakan dalam realitas itu sendiri.
Hal itulah juga terjadi dalam fantasi-ideologis yang menentukan konstruksi yang bagaimana sebuah keadaan untuk kita lihat. Ideologi tak seperti ilusi mimpi yang kita bangun demi lari kenyataan yang tidak kita kehendaki; secara dasar itulah fantasi yang membangun dan menyanggah ‘kenyataan kita’: ilusi yang membentuk efektivitas, hubungan sosial dan juga menutupi hal yang tak berdasar, riil, dan atas inti yang tak mungkin. Fungsi dari ideologi bukanlah sebuah tawaran untuk menghindari kenyataan, justru menawarkan realitas sosial itu sendiri untuk menghindari dari keadaan trauma, inti riil.
Paradoksnya, melalui fantasi itulah ideologi terawat, sebab terdapat kenikmatan berlebih, apa yang kita sebut sebagai aktivitas ‘normal’ berlangsung. Tapi di sisi lain, dengan fantasi itu juga, apabila kita melihat ke bagian yang-sublim, maka kenikmatan yang kita liat biasanya, akan hilang, ternyata hanyalah kekosongan, bahwa objek itu merupakan yang dihasrati oleh yang-Lain. Adalah fasisme Mussolini yang dijadikan contoh untuk memahami bahwa realitas adalah fantasi, maksudnya begini, kekuatan utama ideologi fasisme itu terletak pada kepatuhan dan pengorbanan itu sendiri, terutama ketika mereka ditanya bagaimana mereka membenarkan untuk menguasai Italia, dan apa programnya? Jawaban dari pertanyaan itu sederhana: ‘kita ingin menguasai Italia.’ (Hal 89: 2009)
Sebagai contoh lainnya bagaimana fantasi ini bekerja, terutama dalam psikoanalisis mengklaim bahwa setiap laki-laki memilih perempuan itu sebagai partner-seksual, pengganti ibu: bahwa seorang laki-laki jatuh cintah kepada perempuan itu dikarenakan perempuan tersebut menyerupai ibunya. Kemudian menurut Žižek inilah paradoks dari fantasi: Bahwa fantasi adalah sebuah konstruksi yang memungkinkan untuk mengganti hal-hal yang ada pada keibuan (Maternal Thing), tetapi secara bersamaan ada sekat yang menghalangi kita untuk mendekat kepada hal-hal keibuan (Maternal Thing) — membiarkan kita tetap berjarak. (Hal 132–134: 2009)
Dengan demikian kita mesti menganalisa kembali hubungan dari tujuan dan sarana apa saja yang tak tampak, penandaan, floating signifier, atau yang disebut Lacan sebagai ‘nodal point’ yang terbuka terhadap definisi dan rantai pertandaan yang kerapkali ditandakan dengan suatu nilahi lebih (surplus). Kenapa hal ini mesti dilakukan? Sebab, menurut Žižek dengna ini semua bisa membuka selubung kenikmatan yang bekerja pada ideologi, fantasi realitas. Bahwa ideologi bekerja hanya untuk tujuannya, dan itu bukan diperuntukkan untuk subjek, manusia. Žižek mengaitkan hubungan antara fantasi dan jawaban yang diinginkan oleh yang-Lain. Dalam fantasi, hasrat itu tidak selalu terpenuhi, merasa cukup, akan tetapi didasari pada objek. Melalui fantasi, kita belajar ‘bagaimana untuk menghasrati’). Dalam ideologi keseharian itu memiliki nilai lebih (surplus), seperti kenikmatan, fantasi yang menutupi dan mendasari kenikmatan sosial, yang mendukung berlangsungnya ideologi.
Padahal di balik jejaring simbolik itu semua sebenarnya hanyalah ‘kekosongan’ yang disebabkan oleh bagaimana fantasi bekerja dan menutupinya dalam selubung kenormalan, kenyataan, identitas, dan produk sistem sosial lainnya. Oleh karena itu Lacan berujar dalam Seminar XI bahwa yang tersisa dari hasrat setelah kita ‘melintasi/menyebrangi’ fantasi adalah dorongan (drive) yang akan melampaui fantasi, di situlah kita akan temukan gejala (sinthome/symptom) dari kenyataan sosial yang ideologis. Lacan juga yang merujuk kepada Marx, bahwa dalam menemukan gejala dalam fenomena keseharian yang ada pada kesadaran borjuis sebagai pengelakan yang normal dari fungsi masyarakat (krisis ekonomi, peperangan, dan seterusnya) dan untuk memperbaikinya melalui penghapusan sistem itu ternyata telah disediakan oleh sistem (kapitalisme-ideologi) itu sendiri. (Hal 144: 2009)
Daftar Pustaka:
Žižek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology, London: Verso, 2009
Žižek, Slavoj, Mapping Ideology, London: Verso, 2012
Žižek, Slavoj, First As Tradey, Then As Farce, London: Verso, 2009
Ellen Meiksins Wood, Democracy Against Capitalism Renewing Historical Materialism, London: Verso, 2016
Ernesto Laclau, On Populist Reason, London: Verso, 2007