Sufisme dan Dekonstruksi

Pam
2 min readMay 25, 2020

--

Membaca kembali buku yang kurang dari 200 halaman ini memberikan nuansa yang selalu baru. Barangkali memang bukan hanya buku ini, buku, tulisan-tulisan lainnya yang dibaca lebih dari 1x bakal menemukan sesuatu yang baru; entah itu pemahaman yang didapat kali ini berbeda dari pembacaan awal; sesuatu yang awalnya terlupakan, bisa jadi dalam pembacaan yang berikutnya begitu amat penting.

Dalam buku ini penulisnya, Iand Almond mengajukan beberapa pertanyaan, kira-kira begini terjemahannya; (1) Adakah kemungkinan hubungan antara filsuf kontemporer Prancis dengan seorang sufi abad ke-12? (2) Seberapa dekat pertentangan sufi terhadap rasionalitas dalam pemikiran Islam abad pertengahan yang juga menyerupai pemikir kontemporer, perlawanan dekonstruksi atas akal dan proyek pencerahan?; (3) Seberapa jauh perdebatan mengenai arti tentang Tuhan sesungguhnya dalam tradisi Islam abad pertengahan, persis dengan perdebatan postmodern, tentang sejauh mana kita bisa membicarakan arti tentang dunia dan teks?

Kendati penulisnya datang dari Inggris, akan tetapi selama hidupnya, ia merupakan seorang Professor dari Georgetown University di Qatar, boleh juga disebut sebagai Orientalis, telah meneliti tentang Islam dan filsafat, bukan berarti karyanya ini tidak perlu dibaca, malahan wajib dibaca, apalagi bagi mereka yang fasih bahasa Arab dan mau mengkaji pemikiran Ibn 'Arabi, kalo saya sendiri hanya bisa membaca tulisan Arab sekenanya dan tidak punya tradisi sekolah ke-Islam-an. Dengan begitu sangat dimungkinkan menunjukkan bias-bias khas ala Orientalis ketika mengkaji tentang ke-Timur-an, terutama Islam.

Kalo boleh dibilang juga, buku ini tidak hendak meng-Islam-kan Jacques Derrida, karena kita tahu juga persoalan Islam, dan Agama umumnya dalam pemikiran Derrida adalah suatu hal yang kompleks, meski hanya melalui karyanya, ia tidak serta merta bisa dibetot disyahadatkan ke dalam Islam. Adapun, kalo boleh disetujui, kesamaan Ibn 'Arabi dan Derrida adalah penolakannya terhadap finalitas, akal dan proyek pencerahan atas suatu definisi, ide-ide yang telah diabsolutkan serta yang tak bisa diperhitungkan kembali.

Meski Ibn Arabi kembali ke dalam nuansa yang teistik, setelah membebaskan Tuhan yang semula dari yang-positif ke yang-negatif. Sebaliknya, Derrida, setelah mendekonstruksi hal-hal yang dianggap mapan seperti agama, Tuhan, masa depan, asal usul, ia tidak kembali kepada apapun, siapapun, asal usul, tak ada pegangan masa lalu. Hal ini dikarenakan permainan dari differance, penundaan dan pembedaan, dalam suatu kata, dunia, kehidupan. Hanya sikap penerimaan terhadap Yang-Lain, Yang-Antara, Masa-Depan yang tak bisa dikalkulasi, dengan kata lain itu semualah yang tersisa.

Sumber gambar:

https://www.google.com/amp/s/www.milestonesjournal.net/reviews/2017/12/27/secrets-and-aporias-in-ibn-al-arabi-and-derrida-a-review-essay-of-ian-almonds-sufism-and-deconstruction%3fformat=amp

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

No responses yet