Para filsuf telah lama berspekulasi mengenai bahasa, barulah pada akhir abad ke-19 mereka mulai fokus secara serius mengkaji bahasa secara sistematis. Ada banyak aspek dalam filsafat bahasa: sumbangan terhadap pengembangan kerangka teoretik dalam studi tentang bahasa, dan investigasi konsep dasar — kebenaran, referensi, makna, kemungkinan, proposisi, assertion, dan implicature — dalam hal ini dibutuhkan investigasi dan sangat penting bagi filsafat secara keseluruhan.
Filsafat bahasa berada di antara studi bahasa secara saintifik, dan penggunaan bahasa. Bahasa dalam artian natural-languages semisal Inggris, dan invensi bahasa dari logika dan matematika. Bahasa juga dalam artian penggunaanya yang private dalam pikiran, atau yang biasa digunakan dalam ruang publik untuk mengkomunikasikan pikiran-pikiran.
Hal yang menjadi fakta utama mengenai bahasa ialah bahwa ia memiliki karakter yang representasional. Kalimat A benar sejauh ia memenuhi kondisi S yang merepresentasikan dunia tertentu. Aoabila kita terima, atau menegaskan, bahwa suatu kondisi S dapat dipercaya, ditegaskan, sejauh dunia memenuhi kondisi S. Karena konten representasional kalimat bergantung dengan struktur grammatikal dan juga konten representasional bagian-bagiannya, dengan demikian makna linguistik ialah suatu sistem yang saling berhubungan.
Dari situ mempelajari lebih dalam mengenai hubungan antara makna dan kebenaran. Seseorang mengucapkan kalimat A itu benar/merepresentasikan dunia, sejauh ia memenuhi kondisi, sehingga S satisfy A. Karena hal ini merupakan truth-conditions dalam kondisi S, maka makna selalu melibatkan suatu kondisi kebenaran. Dengan demikian, studi sistematis tentang makna membutuhkan kerangka untuk menetapkan truth-condition dari kalimat dalam struktur sintaksisnya, dan konten bagian repsentasional.
Kerangka seperti di atas bisa kita temukan pada karya-karya filsuf-logikawan. Pertama, Gottlob Frege, yang menemukan logika simbolik modern untuk menganlisis konsep-konsep aritmatika dan meletakkan basis mengenai teori makna, referensi, dan truth-condition. Kedua Bertrand Russel melanjutkan teori Frege untuk menganalisis bahasa natural. Ketiga Alfred Tarski yang mengembangkan teori truth-conditions dari semua kalimat secara pasti yang menempatkan referen bagian-bagiannya secara pasti dalam bahasa logis, dan menggabungkannya dengan definisi yang jelas mengenai kebenaran logis dan konsekuensi. Terakhir, Rudolf Carnap yang melihat implikasi dari Tarski dalam studi mengenai makna dan juga melangkah lebih jauh ke modal system.
Hasilnya ialah kerangka teoretik secara gramatikal untuk dilakukan investigasi semantik, namun secara ekspresif begitu hebat, bagi bahasa formal simpel yang begitu penting dalam fragmen bahasa natural agar bisa diterjemahkan. Scott Soames dalam bukunya “Philosophy of Language” mengatakan kendati bahasa formal dari Tarski kekurangan beberapa fitur bahasa natural, seperti sensitivitas-konteks dan beragam bentuk intensionalitas, namun yang lainnya sangatlah dibutuhkan. Beberapa pendasaran — seperti melibatkan epistemic, counterfactual, atau modal operators — merupakan intensional lanjutan, atau bahwa nilai kebenaran tidak ditentukan oleh bagian rujukannya (determined by the reference of their parts).
Soames juga mengatakan bahwa teori Tarski mengenai kebenaran kondisi (truth conditions) dalam suatu kalimat terlalu lemah untuk menentukan makna, sebabnya adalah kesulitan untuk memecahkan masalah, dan cenderung merelativasikan teori kebenaran berdasarkan dari suatu pernyataan dan suatu kondisi kemungkinan dunia. Dalam hal ini pernyataan seperti, ‘niscaya’, ‘kemungkinan/mungkin’, ‘dapat/bisa’, ‘akan’, merupakan konsep yang diekspresikan temporal dalam kalimat natural-language dan biasanya dinyatakan oleh ‘I’, ‘he’, dan ‘sekarang’.
Dalam buku ini kita juga akan dapati penjelasan mengenai kenapa para filsuf bahasa fokusnya beragam. Di mulai dari Gottlob Frege yang meneliti tentang logika dan fondasi matematika. Tujuannya, menurut Soames, ialah (i) menetapkan bahasa formal dan agar memiliki kecukupan bukti bagi matematika, serta (ii) mengeluarkan/menurunkan aritmatika dari aksioma dari dan definisi yang tersedia dalam system tersebut — dengan kata lain untuk menyediakan dasar logis bagi seluruh matematika.
Selanjutnya dari Soames juga kita akan menemui hal paling penting tentang konseptual. Konseptual pertama yang penting di bahas dalam bukunya ialah dua aspek krusial mengenai metafisika makna — proposisi dan dunia-mungkin (possible world) yang diinvestigasi. Soames menjelaskan bahwa proposisi diperlukan sebagai makna kalimat dan objek tindakan (objects of the attitudes) — tidak dapat dipisahkan dari teori kondisi kebenaran (truth conditions), juga tidak didefinisikan dalam status dunia-yang mungkin (possible world-states).
Selain itu kita juga akan melihat bahwa yang disebutkan di atas bukanlah objek abstrak yang misterius, secara inheren representasional, yang kerap kali diterima begitu saja. Alih-alih menjelaskan representasi kalimat dan status kognitif dalam relasi dengan representasi proposisi yang sebelumnya ada dan independen. Justru Soames menjelaskan representasionalitas proposisi dalam hal representasionalitas dari keadaan kognitif yang saling terhubung.
Maksudnya begini kalo saya tidak salah paham, bahwa dalam konsepsi dunia-yang mungkin sebagai properti dari suatu dunia yang dibayangkan dengan proposisi-proposisi tertentu yang didefinisikan secara benar. Selain itu juga kita akan melihat bahwa secara metafisika tidak mungkin, namun secara epistemic mungkin dalam suatu dunia. Kemudian juga mengenai penyelidikan-relativitas ruang mengenai suatu kondisi dunia memanglah dibutuhkan melalui teori-teori, juga penjelasan tentang pengetahuan a priori kita tentang suatu-dunia (world-states). Terakhir dan yang menurut saya menarik ialah penjelasan mengenai dunia-aktual yang bias diketahui sebagaimana dunia-lain juga diketahui, yang secara empiris telah terberi pada kita.
Kendati resolusi yang didapat mengarah pada paradox pengetahuan a priori dari kebenaran proposisi aposteriori dalam dunia-aktual dan dengan pengakuan bahwa pada prinsinya, apriori dapat diketahui, meski beberapa di antara konsekuensi sederhana apriori tidak dapat diketahui.
Sumber Pustaka:
Philosophy of Language by Scott Soames