Tentang Harapan dan Ketakmungkinan
Sudah hampir satu tahun saya di Jakarta, tempat yang mulanya tidak pernah memiliki kedekatan dan kenangan di dalam benak kepala. Sebaliknya, kota tersebut dibayangkan sebagai tempatnya segala “keruwetan” berkumpul. Tidak pernah sekalipun ada bayangan tinggal di kota penuh dengan harapan yang orang-orang sematkan; bagi mereka yang mengadu nasib dan mencari peruntungan, baik itu di jalanan atau di dalam ruangan.
Dari matahari belum terang hingga ia kembali menghilang dari pandangan, saya menjalani hari dan bergabung dengan pejalan kaki lainnya ke dalam satu bus Trans-Jakarta yang berhenti di Manggarai dan dilanjut dengan Kommuter Line arah Jakarta-Bogor.
Tapi apa boleh buat, pada akhirnya saya menjadi salah satu orang yang menyumbangkan keruwetan di dalamnya, dengan sedikit mimpi yang coba dihidupkan, setidaknya untuk sementara waktu. Dengan serangkaian optimisime, harapan, beragam bentuk keinginan lainnya, dan juga faktor dari luar yang menyebabkan hidup diandaikan suatu saat menjadi lebih baik, menyenangkan, dan mendekati kesempurnaan.
Bagi sebagian orang mendapatkan kebahagiaan dalam hidup ini ialah tujuan, salah satunya mewujudkan harapan sebagai dunia yang mungkin. Tapi setelah mendapatkannya lalu apa? Padahal, menurut Arthur Schopenhauer, sangatlah tidak mungkin bagi kita untuk percaya bahwa dunia ini merupakan dunia yang sempurna, baik-baik saja, dengan orang-orang bijaksana dan kekuasaan. Alasannya ialah pertama-tama, penderitaan itu ada di mana-mana , dan yang kedua ialah sangat jelas kalo ketidaksempurnaan merupakan produk tertinggi dari manusia yang semestinya diolok-olok.
Harapan, dan Kebahagiaan
Para filsuf telah memikirkan mengenai kehidupan-bahagia lebih dari 2.500 tahun. Akan tetapi jawaban tersebut tidak lain merupakan bentuk lain dari sebuah keinginan. Sebab ketika kehidupan-bahagia yang diidamkan telah terwujud, pada saat itu juga yang dikejar berakhir. Begitupun ketika yang dikejar itu tidak tercapai, maka penderitaanlah ujugnya. Lagi pula, kita harus tetap menjalaninya, dan kalau perlu menari selagi kita bisa.
Belakangan ini, saya membaca tulisan-tulisan dari Dea Anugrah. Baik itu tulisan yang tersebar di Tirto ketika Dea masih bekerja di sana, maupun saat ini ketika tulisannya muncul di Asumsi. Pada saat itu juga, saya memutuskan untuk mencari tulisannya yang dibukukan. Beruntung, sebab saya bisa mendapatkan tulisan Dea di toko konvensional selepas pulang kerja.
Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, Bakat Menggonggong.
Kedua buku kecil, dan tidak terlalu tebal itu saya dapatkan. Satu berisi kumpulan tulisan esai, satunya lagi kumpulan cerita pendek. Singkat kata, buku tersebut saya tuntaskan tanpa ada halaman yang terlewat.
Ada yang menarik dalam tulisannya, menurut pembacaan saya, tidak ada penekanan yang ingin disampaikan di kedua buku tersebut. Baik itu semacam penekanan dari seseorang yang memiliki ‘otoritas’. Pun menanamkan persamaan gagasan kepada tiap pembaca secara agresif dan memburu.
Barangkali itulah mengapa, dalam buku sekumpulan tulisannya, Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya dijadikan sebagai cover depan. Sebab, di dalamnya kita akan temukan bahwa sesuatu yang diandaikan, diidealkan, bisa terwujud, justru di dalamnya menyimpan segenggam keputusasaan. Sementara kehidupan itu terlalu suram.
Alasannya ialah karena ketika semua orang memiliki segudang harapan di dalam benak kepala, tidak jarang pula sekuat tenaga ingin merealisasikannya. Sementara dunia itu ibarat kanvas. Baru kemudian kita yang akan memberikan warna, goresan, harapan. “Pada dasarnya,” kata Schopenhauer, “kita ini keras kepala.” Saya kutip penggalan kalimat itu dari tulisan Dea yang dimuat Asumsi. Terasa betul sikap pesimis di dalam tulisannya, barangkali karena pengaruh dari Arthur Schopenhauer, Buddha, dlsb.
Membaca tulisan Dea, kita tidak akan menemukan 101 cara untuk merebut alat produksi, melakukan aksi sepihak, dan bagaimana memaksimalkan potensi-diri di revolusi 4.0 yang digembor-gemborkan itu. Akan tetapi keduanya memiliki kesamaan, lagi-lagi menurut pandangan saya, yakni caranya menceritakan kisah, suara di dalam tulisannya menggema dan pembaca diberikan keluwesan memilih mengikuti jejak suaranya atau menghiraukannya . Dea ibarat tokoh Saúl Zuratas atau Mascarita dalam novel El Hablador, karya Mario Vargas Llosa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sang Pengoceh.
Dea sendiri yang mengatakan bahwa tulisan tak sepatutnya dibuat dengan tujuan mengubah dan menanamkan ide di kepala orang. Dengan kata lain, tiada etika Platon, Aristoteles, Marx di sana yang mengatakan bahwa tujuan dari kehidupan ialah untuk memaksimalkan kebahagiaan secara benar dan banyak, merengkuh potensi-diri, dan menjalin hubungan dengan yang lainnya, serta membentuk diktator proletariat.
Tapi seberapa banyak dari kita yang memang benar tidak berniat untuk menyeragamkan pikiran dan menghentikan percakapan. Tiada yang baru di bawah matahari. Apalagi kalo kita melihat kondisi hari ini dengan fenomena pelarangan buku, berdiskusi dan menyuarakan pendapat sekalipun berbeda, betapa lenturnya UU ITE diterapkan bagi siapa saja, terutama bagi masyarakat. Barangkali negara ini hendak merealisasikan negara-totalitarian dengan sensor dan mata-mata a la novel 1984, karya George Orwell. Menghapuskan sesuatu yang terkait dengan masa lalu, dikaburkannya segala informasi pengetahuan waktu itu, ditutup rapat-rapat celahnya, dan dengan begitu penanaman ide-ide “pengetahuan baru” dan konstruktif bisa terwujud.
Padahal di samping itu semua, kita harus sadari bahwa hanya dunia ini yang kita miliki dan beragam tindakan dan aksi merupakan bagian dari ekspresi. Sekalipun tujuan tiap individu berbeda. Kita hanya perlu untuk menerimanya dan memperbincangkannya.
Relasi Manusia dengan Yang-Lain
Martin Buber, dalam bukunya I and Thou (1923), mengatakan bahwa eksistensi manusia itu sejatinya interpersonal. Manusia tidak terisolasi, objek yang bisa kemana saja, dan juga merupakan subjek yang terlibat dalam hubungan dengan orang lain, dunia. Lebih jauh Buber menekankan dua tindakan yang saling terkait satu sama lain: saya yang memandang objek di luar dirinya sebagai instrumen yang bisa digunakan serta diketahui oleh saya (orang pertama).
Sementara tindakan kedua ialah hubungan antara saya dan engkau lebih kepada kita mengalami perjumpaan dengan mereka. Mereka yang berbeda sekalipun dengan kita. Saya yang mengalami perjumpaan tersebut menyerap keseluruhan dari orang lain tersebut. Mendengarkan suara orang lain dan tidak memaksakan keinginan pribadi. Tidak ada intervensi dari kita pada titik ini. Kita berada pada posisi egaliter, mengurung ego kita dan berada di antara.
Saya kira memang permasalahan yang muncul, dari mulai isu nasionalisme yang dipersempit buat “memukul” mereka yang berbeda, meningkatnya sentimentalitas sebagian umat beragama, dan mereka yang menggunakan kekuasaan guna menghentikan yang lemah, itu disebabkan oleh gagasan yang ada di dalam diri kita sendiri. Dari situ bersemayam hasrat untuk menguasai dan hanya dia yang boleh berkreasi dan terus menari.
Padahal kita tidak semestinya mengandaikan suatu masa depan yang-akan-datang dengan sesuatu yang bisa diperhitungkan secara matematis, sains, dan ideologis. Sejatinya hari esok ialah misteri. Hari esok juga tak boleh diabsolutisasi oleh siapapun. Kendatipun ia tiba, kita tak mungkin menyadari kedatangannya kapan dan di mana. Ia adalah sebentuk penolakan dari sebentuk optimisme yang di dalamnya terdapat kekurangan terus-menerus dan berujung pada kecewa, putus asa, juga merupakan pelampauan atas kondisi yang terduga.