Tuhan Meniupkan Nyawa, dan Negara Mengatur Berapa Usia Hidupnya

Pam
7 min readOct 22, 2024

--

source image: https://www.thoughtco.com/the-f-word-feudalism-1788836

Jika masa remaja ditandai dengan rapal-tempel warta kematian tuhan, perasaan kosong dan sekejap bisa terisi penuh beragam hal, maka paruh baya merupakan suatu masa untuk berkabung sendirian perihal lara, tanpa siapa-siapa, seperti kata-kata yang keluar dari mulut Julia Kristeva secara metaforis “Tak ada yang lebih menyedihkan dari matinya tuhan/ide/nama”.

Seandainya kecemasan paruh baya adalah pakaian baru, maka ide-ide lama merupakan pakaian lusuh yang telah ditanggalkan. Seorang antropolog ‘bijak’, Claude Levi-Strauss, pernah ‘meramal’ masa depan yang bukannya terang benderang, melainkan penuh kehati-hatian karena “Hanya di awal manusia menciptakan sesuatu yang ‘hebat’. Sentuhan selanjutnya diikuti oleh keraguan dan penyesalan, sedikit demi sedikit merupakan upaya untuk pulih dari apa yang mereka ciptakan”.

Banyak hal yang melesat dari perkiraan dan kita sadari justru datangnya belakangan. Setelah ide kadung berwujud kenyataan, lepas tergelincir tanpa kendali serupa angkutan kopayu butut menabrak pembatas jalan atau masuk ke sungai sepanjang jalan raya Indramayu-Cirebon.

Ambil contoh kereta cepat, dengan hutang yang terpaksa kita tanggung hingga blenger tak mungkin terbayar lunas, atau hingga negara ini lenyap sekalipun, bahwa kita tak pernah ikut andil dan serupa perjanjian pinjaman uang tak ada satu pun jejak tandatangan dari ratus juta manusia di luar lingkar kekuasaan, ia akan membawa penumpang tiba di tempat tujuan hanya dalam beberapa kedipan.

Sementara kakek-nenek tua renta, anak muda pesakitan dengan bayaran upah di bawah standar dan beban kerja yang tak karuan hanya cukup untuk menopang hidupnya yang nelangsa, atau bocah-bocah lusuh yang selalu takut untuk mengucap bait kata. Mereka tertinggal dari gerbong masa depan dan luntang-lantung di bawah rezim data yang tak mengerti apa-apa selain “Tolong investasi di negara saya dan supaya sebagian banyak jumlahnya masuk ke rekening keluarga dan kolega”.

Lebih tepatnya ditinggalkan di belakang, di balik rumah-rumah bedeng yang berdempetan dan terhimpit seolah sedang melenturkan tubuh sebelum ditempatkan pada peristirahatan terakhir. Atau mereka yang berada tepat di bawah sorotan matahari dan asap yang mengepul di udara dan kemudian melekat pada pakaian, di bawah kolong-kolong ‘monster penopang kendaraan’. Mereka semua yang tak pernah diperhitungkan, selain hanya dianggap sebagai penambah-kurang suara, apalagi dijanjikan masa depan.

Peraih nobel prize 2024 kemarin, Han Kang, mengajukan pertanyaan melalui tokoh di dalam karyanya Europa (2019), yang saya kira memungkinkan buat membatalkan segala kebuntuan berpikir tentang hari-hari yang dipenuhi dengan trauma dan memungkinan membayangkan dunia-yang-mungkin dalam kenyataan sehari-hari, “Jika kamu dapat menjalani hidup yang kamu inginkan, apa yang akan kamu lakukan di hidupmu?”

Negara yang Dikelola Seadanya

Satu bulan yang lalu saya memasukkan lamaran pekerjaan untuk posisi yang menjanjikan di salah satu industri di daerah Cirebon. Berangkat dari harapan bahwa di tempat kerja baru akan mendapatkan pekerjaan yang tak eksploitatif dan menguntungkan pekerja itu lebih sulit direalisasikan — di dalam kultur sejarah industri yang mengekstraksi habis tenaga, pikiran dan tubuh dari seonggok individu yang sebenarnya ringkih untuk menghasilkan keuntungan untuk selalu mengisi penuh hasrat serakah — daripada kita belajar hal-hal baru di usia dewasa dan mengakui jika kita tidak tahu apa-apa.

Barangkali kamu akan menduga akhirnya dan menganggap jika saya–seorang bapak dengan satu anak yang pada kerjaan-kerjaan sebelumnya selalu ‘memilih’ untuk (di)keluar(kan) kerja, alih-alih mengikuti peraturan-peraturan ajaib seolah-olah ini abad ke-19–telah membuang begitu saja kesempatan untuk terus bertahan di kondisi ekonomi yang sedang morat-marit, mengalami deflasi parah lima bulan terakhir dan pengangguran meroket tajam 5000% di beberapa provinsi di Indonesia — seharusnya semua pekerja bisa seperti ini dan tak semestinya hanya diberikan pilihan yang tak layak untuk dijalani, bahkan entitas yang-bukan-manusia seperti robot yang ditinggikan oleh para pemodal karena tenaganya dapat diekstraksi 24 jam sehari–sekalipun diberi pekerjaan seperti ini akan mumet dan aus juga.

Namun kenyataannya, pengalaman yang numpang mampir selalu berbeda tiap masing-masing dalam memahami dunia-dunianya sendiri, sebab bagi banyak manusia merupakan penghayat setiap hari yang di dalamnya merupakan perpanjangan dari segala keinginan dan doa untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Sejak mereka ‘menyepakati’ perjanjian kerja atas dirinya dengan perusahaan di atas selembar surat kerja tanpa bisa sekali berkata ‘tidak’.

Pilihannya ‘iya’ atau ‘tak masalah, masih banyak orang yang membutuhkan kerja’ secara angkuh dari mereka. Seperti kondisi pada awal-awal industri, yang sebenarnya pola tawar-(tak boleh)menawar yang tak banyak berubah. Para pemberi kerja, dan negara yang menutup mata, menawarkan bayaran untuk kerja 16 jam sehari untuk dua puluh shilling — dengan kondisi yang Engels gambarkan bahwa “Sebanyak tiga ratus lima puluh ribu buruh Manchester hidup dengan kondisi yang kotor dan menyedihkan” — -dan jika tak mau, tengok ke belakang masih banyak yang mau mendapatkan bayaran segitu yang cukup untuk mendapatkan roti atau daging.

Ditambah dengan kondisi pekerjaan dan ekonomi yang mandeg, membuat banyak orang jadi linglung “Apa benar gusti pangeran nyari duit sesulit ini”, salah satu penyebab kondisi ekonomi yang awur-awuran ialah karena duit berputar di beberapa negara Asean seperti Thailand, Filipina, Kamboja, dan Myanmar. Hingga gagalnya memanfaatkan kesempatan menambah sektor formal serta start-up boom hanya dijadikan sebagai exit plan dan gimmick IPO.

Kemudian eskalasi perang Rusia-Ukraina, genosida Israel atas Palestina dan Lebanon yang bikin perputaran ekonomi jadi macet seumpama ada organ siang hari sepanjang jalan pantura Indramayu-Cirebon. Lalu tindakan pemerintah secara sadar rela dikangkangi oleh setiap tawaran dari negeri menlen mengirim ‘sampah organik dan inorganik’ berdampak pada penurunan kelas menengah dan pengangguran massal, para pedagang menjerit histeris dan para ibu linglung mau memberi makan anaknya apa adalah paket lengkap dari rezim sebagai jawaban nyata ‘menghilangkan kemiskinan’ dalam arti sesungguhnya.

Semua variabel dari pemerintahan yang menumbuh-suburkan kecemasan untuk mengisi tiap bangsal, mengubah tiap individu menjadi pedagang dengan modal serba terbatas dan memaksa warganya menahan sakit sebelum terlelap ini, pada titik ekstrim, memungkinkan mengambil pilihan paling realistis untuk menghentikan rasa sakit invidividu — setelah segalanya menjadi lagi tidak terjangkau dan kartu BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan tak lagi mujarab.

Menaruh harapan dan optimisme, seperti yang selalu diucapkan dalam seminar berbayar, merupakan sejenis kesia-siaan dan kemustahilan. Jaminan kerja tetap permanen sulit ditemukan, orang-orang bekerja keras dari sebelumnya dan meski begitu fenomena ini tidak membuat orang-orang tajir dan membuktikan omongan pengoceh “Kerja cerdas dan biarkan uang yang bekerja untukmu”. Sebab buruh pabrik, pekerja agensi, start-up, freelancer semuanya setara, setiap saat bisa mendapatkan surat Pemutusan Kerja sepihak, meski kamu berstatus Pekerja Kontrak, Pekerja Tetap dan masih memiliki durasi kontrak yang panjang — entah itu di Town Hall pada hari Senin yang brengsek atau setelah meeting pertama bersama tim.

Membayangkan Masa Depan

Betapa menyedihkannya hari-hari kita yang hidup di bawah rezim UMKM dan kolaborator menlen yang rela secara terang-terangan memberikan jalur ekslusif bagi produk-produk ‘sampah’ dari Cina untuk membanjiri pasar yang kita serap via berbagai platform pembelian — hingga berujung pada mematikan pabrik-pabrik lokal, memaksa warganya berteriak sekencang-kencangnya tanpa pernah didengar suaranya, menyulap tanah adat menjadi proyek singkong, sawit, bandara, pabrik semen dan mengganti secara percuma tanah yang telah ditinggali oleh warga dan tak sedikit kriminalisasi warga dengan dalih ‘mengganggu proyek nasional’.

Empat tahun sejak UU Cipta Kerja disahkan pada 5 Oktober 2020, ‘ajal kematian’ buruh pabrik dan buruh kantoran silih berdatangan tiap malam. 10 juta lapangan pekerjaan yang pernah dijanjikan tak pernah menyasar pada sektor formal, pada kenyataannya puluhan pabrik yang tutup dan melakukan PHK sebagai bukti omongan yang luber. Jokowi menjadi Pinokio dengan konotasi paling negatif, segala yang ia katakan merupakan kebalikannya.

Sialnya, gelombang PHK ini tak ada tanda-tanda surut, hari-hari ke depan akan dipenuhi dengan langit gelap dan wajah muram. Artikel BBC memprediksi hingga akhir 2024 — di mana Jokowi lengser — akan mencapai 70.000 orang. Han Revanda Putra menulis selama 10 tahun pemerintahan Jokowi dan berlangsungnya UU Cipta Kerja, melansir Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat ada tren penurunan penciptaan lapangan kerja di sektor formal.

M. Chatib Basri, dalam cuitannya Agustus 2024, melansir data Sakernas BPS, mengatakan dalam periode 2019–2024, tenaga kerja sebagian besar diserap oleh sektor informal. Hal ini berdampak juga pada tren negatif menurunnya kelas menengah karena lapangan kerja yang tercipta lebih dominan sektor informal dan pendapatan pun lebih rendah dibanding sektor formal.

Kita mungkin familiar dengan kondisi bertumbuhnya para pedagang es teh yang dibandrol dua ribu rupiah, jajanan pinggir jalan mulai dari lima ribu rupiah, angkringan, ayam geprek dan seblak, jasa titip makanan-minuman, kurir antar paket untuk daerah yang secara model bisnis menyerupai raksasa start-up Gojek, Grab dan Spx, para penjual nasi goreng, lauk masakan, baso tahu dan batagor, dan masih banyak lainnya yang cukup mudah ditemukan dalam jarak 1 km dan kita bisa mencatat ada berapa banyak pedagang tersebut — sebagian besar contoh di atas merupakan sektor kerja informal yang tumbuh liar dibiarkan oleh pemerintahan yang impoten.

Jika ada banyak kesempatan pekerjaan yang lebih layak di luar dari pekerjaan informal, memanfaatkan start-up boom, tren investor empat tahun ke belakang dan beragam opsi lainnya dengan negara menjamin lapangan pekerjaan dan menjamin perusahaan memberi upah yang tak sekadar untuk membuat perut kenyang.

Hingga pada akhirnya dalam kondisi yang serba tak mungkin: krisis iklim, eskalasi perang yang makin luas, menjadi seperti Filipina di bawah rezim junta militer, bonus demografi bukan hanya sebatas angka untuk mewujudkan visi langit adalah kondisi-kondisi yang menjadi syarat bagi kita untuk terus keras kepala, untuk “melampaui” kesakitan dunia, untuk “membenci” dunia seperti yang sering dilontarkan para filsuf eksistensialis. Karena itu tawaran yang mungkin dan tak ada pilihan lain, seperti sikap pasif-menerima atau menjadi buzzer yang siap dimuntahkan kapan saja, yang lebih indah selain kita keras kepala dan terus membenci dunia yang dibangun atas kekuasaan dan keserakahan dalam segenggaman kepalan tangan.

--

--

Pam
Pam

Written by Pam

Sesekali menulis di tepi peradaban digital, sebab hidup hanya angin lalu, amat disesalkan jika kemampuan untuk mengisahkan dan mengingat itu terabaikan.

Responses (2)